Faradita - Bab 9

2.5K 457 45
                                    

"Ini kita nggak mau pindah kemana gitu? Siang-siang begini kebagian bangku neraka di kantin bikin gue males makan," keluh Win masih menolak untuk duduk menempati satu-satunya meja kosong yang tersisa, dan biasa ia sebut sebagai bangku neraka karen...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini kita nggak mau pindah kemana gitu? Siang-siang begini kebagian bangku neraka di kantin bikin gue males makan," keluh Win masih menolak untuk duduk menempati satu-satunya meja kosong yang tersisa, dan biasa ia sebut sebagai bangku neraka karena posisinya bersisian langsung dengan jendela tinggi yang mana kalau siang-siang seperti ini, sinar matahari menyorot ganas menempa sepanjang barisan tersebut.

"Ini kita nggak mau pindah kemana gitu? Siang-siang begini kebagian bangku neraka di kantin bikin gue males makan," keluh Win masih menolak untuk duduk menempati satu-satunya meja kosong yang tersisa, dan biasa ia sebut sebagai bangku neraka karen...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo berisik banget, sumpah. Tinggal duduk, mundurin dikit tuh kursi, terus makan. Kepanasan bentar doang nggak bakal bikin lo langsung masuk rumah sakit," ketus Aby di sampingnya. Telinganya sedari tadi ikut panas mendengar keluhan tak berujung dari cowok manja itu.

Win menyimpan nampan miliknya ke atas meja dengan gerak berlebihan. Matanya mendelik pada Gege yang sedang duduk santai di atas kursinya sendiri.

"Semua ini gara-gara lo, Ge! Coba aja tadi lo dengerin omongan gue buat pergi duluan dan tandain bangku yang enak buat didudukin lama-lama. Pasti kita nggak perlu ribet kayak gini." Tangan Win bergegas melepas blazer miliknya sebelum ia semakin senewen karena kegerahan. "Lagian AC di sini ada berapa, sih? Dua? Tiga? Ruangan segede dan sepanas ini minimal harus ada empat, lah. Kayak kurang duit aja nih sekolah."

Gege melirik Win sekilas lalu kembali menekuri ponselnya. Makanan di atas nampannya masih terlihat utuh. "Males. Sejak kapan juga gue dengerin omongan lo? Kagak ada manfaatnya."

"Kita?" Aby menunjuk dirinya, Gege, dan Gish bergantian dengan sendok yang dipegangnya. "Lo doang yang ribet dari tadi. Cerewet. Gue yang cewek aja nggak segitunya."

"Lah? Emangnya mengkritik fasilitas sekolah yang nggak sesuai sama duit yang bokap-nyokap gue keluarkan tiap bulannya itu salah?" Win meraih sendok dan garpunya untuk dibersihkan dengan tishu. "Gue hanya sedang mencoba menjadi murid yang kritis aja ya di sini."

Gish memutar mata. "Bedain mana omelan mana kritikan, please. Jangan keliatan banget begonya. Malu-maluin NIIS lo kalo kedengeran orang luar."

"Tsk. Diem lo," decak Win memilih kembali pada makanannya. Saat mulutnya dipenuhi suapan pertama, ia kembali melihat sekitar. Melihat-lihat bangku mana yang sekiranya ada yang kosong dan nyaman untuk ditempati. Atau setidaknya membidik penghuni mana yang posisi duduknya bisa ditukar dengan mereka. "Bangku deket kitchen area, pojok kiri depan kayaknya enak tuh. Adem, di bawah AC. Tuker sama mereka bisa kali." Win menoleh pada Gish. "Gish, lo yang maju. Anak-anak kalo udah lo yang ngomong nggak bakal nolak. Nurut kayak ngeliat anak anjing haus belaian."

Faradita; The Moment We Meet, We Fall.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang