[SEPULUH]
"Raga, bisa ikut saya sebentar?" Raga menoleh, bangun dari tidurnya lalu mengangguk, "Iya, om" Sepertinya Ridwan akan berbicara serius dengannya.
Sekarang, mereka sedang duduk di ruang kerja Ridwan. Ridwan berdehem singkat lalu berbicara, "Em, saya tau ini memang susah untuk kamu. Tapi, setidaknya kita harus berusaha terlebih dahulu. Kamu mengerti kan, maksud saya?" Ridwan menatap Raga.
Raga menunduk, Ia tau jalan pembicaraan ini. menghela nafas panjang lalu mendongak menatap Ridwan, "Om, kalaupun saya menjalani pengobatan, belum pasti saya akan sembuh. Bahkan untuk hidup lebih lama lagi," Raga menjeda ucapannya sejenak, "Untuk hidup lebih lama lagi saja, belum tentu saya bisa"
"Raga, akan lebih baik jika kita mencoba. Saya janji, akan berusaha untuk menyembuhkan kamu. Walaupun hanya sedikit kemungkinan, tapi kita masih ada harapan. Kita gunakan harapan itu sebaik mungkin. Kamu jangan menyerah. Lawan penyakit kamu. Saya tau, kamu laki-laki yang kuat." Ridwan memberi saran, dan menyemangati Raga. Ridwan tau, Raga sudah menyerah dengan penyakitnya.
Ya, Raga memiliki penyakit, Jantung.
"Saya nggak kuat om, saya juga ngga bisa lawan penyakit ini, saya nyerah"
"Mungkin ini udah takdir Raga." Gumam Raga lirih, dengan kepala menunduk."Kamu keras kepala. Jadi sekarang apa yang akan kamu lakukan? Diam saja? Bahkan kamu belum memberitahu orang tua kamu. Beritahu mereka Raga, jangan merahasiakan ini, orang tua kamu berhak tau."
"Masalah orang tua, saya belum bisa. Saya tidak mau mereka kepikiran, apalagi sampai menyusahkan mereka"
"Itu sama saja kamu egois"
"Saya tau. Di sisa hidup saya, saya mau membahagiakan orang yang saya sayang. Keluarga saya, sahabat,"
"Dan Ana" Lanjut Raga, dengan kepala yang sedari tadi terus menunduk."Kenapa dengan Ana?"
Raga mendongak lalu tersenyum, "Saya suka sama anak om. Dan Ana termasuk orang yang akan saya bahagiakan di sisa hidup saya."
"2 bulan, itu berarti sekitar 60 hari, singkat banget sisa waktu saya buat hidup. Dan saya nggak mau ngabisin sisa waktu saya dengan nyusahin mereka, lebih baik saya bahagiain mereka"
"Walaupun pada akhirnya, saya juga yang bikin mereka nangis, karena ninggalin mereka, selamanya.""Jangan ambil keputusan secepat itu, pikirkan baik-baik. Pikirkan, masalah apa saja yang bisa terjadi dengan tindakan kamu." Setelah mengatakan itu, Ridwan melangkah keluar. Ridwan teringat sesuatu lalu berbalik, "Satu lagi, jangan tidur dikamar Ana. Tadi saya cuma pura-pura. Terserah mau tidur dimana, asal jangan dikamar Ana"
Raga terkekeh mendengar itu, "Ya nggak lah, tadi juga saya cuma pura-pura. Tapi pengen sih"
"Awas aja! Saya rekomendasiin, mending kamu tidur diluar, depan pagar. Biar dikira gembel" Setelah mengatakan itu Ridwan benar-benar pergi.
Masalah Ana, sebenarnya ia sudah tau. Malahan ia yang menyuruh Raga menjemput Ana, karena ia memiliki firasat buruk, ternyata benar.
Setelah mendapat Ana dan Deon tadi, kebetulan Raga sedang menelpon dengan Ridwan. Jadilah, Ridwan juga tau soal itu. Makanya Ridwan tidak terlalu kepo soal Ana.
Lagi pula untuk lebih detailnya, ia bisa menanyakannya besok.
----
"Ragaa, bangun. Woy! Dengar ga sih?!" Sedari tadi Ana membangunkan Raga yang sedang tidur di sofa ruang kerja Ayahnya, tapi Raga tidak kunjung bangun.
Sebenarnya ia tidak mau membangunkan Raga, karena malu setelah mengingat kejadian semalam. Kelakuannya sangat memalukan.
Ana mengguncangkan tubuh Raga, "Ragaa, bangunn. Kebo banget sih! Lo tidur apa mati?!" Kesal Ana.
Raga menggeliat lalu perlahan terduduk, dengan rambut dan baju acak-acakan. "Lo kenapa ada dikamar gue?" Tanya Raga heran.
"Li kinipi idi di kimir gii? Bacot lo! Pulang sana! Ini rumah gue!" Ana menirukan ucapan Raga dengan menye-menye lalu menarik Raga yang masih terlihat mengantuk.
"Oh iya, gue lupa lagi dirumah lo" Kemuadian Raga kembali berbaring dan balik menarik tangan Ana dengan kuat. Ana yang tidak bisa menahan, langsung jatuh diatas Raga.
Mata mereka bertemu, tapi ada yang merusak pemandangan, "Anjir! Belek lo ada di mata! Iyuhh jorok lo!" Pekik Ana lalu bangkit, sedangkan Raga hanya terkekeh.
"Belek ya di mata lah, masa belek di gigi. Gego lo!" Protes Raga lalu berdiri didepan Ana.
"Cuci muka sana! Jorok banget sih, itu belek lo masih ada disituu" Ana mendorong punggung Raga agar segera kekamar mandi yang ada di ruang kerja Ayahnya.
"Masih ada disini lah, belek gue ga bisa jalan. Lagi pula biarin aja nih belek, biar estetik mata gue. Ya gak?" Ucap Raga sambil mengedipkan satu matanya kearah Ana.
"RAGA JOROK!" Pekik Ana kesal, lalu pergi dari situ. Sedangkan Raga hanya terkekeh lalu masuk kedalam kamar mandi. Mencuci muka sekalian mandi, kebetulan peralatan mandi disini lengkap, tersedia sikat gigi baru juga.
Setelah beberapa menit, Raga keluar menuju meja makan dengan keadaan segar, namun masih dengan baju yang sama.
Raga duduk disamping Ana. Mengambil piring lalu memuat nasi dan lauk dipiringnya, setelah itu ia makan. Padahal belum dipersilahkan. Ridwan dan Sania yang melihat itu hanya menggeleng sambil terkekeh.
"Wahh! Enak banget lo duduk langsung makan! Sape lu?" Ucap Ana ekspresi kesal.
"Bagus dong gue kayak gini. Dengan begini tante Sania ngga perlu repot-repot buat mempersilahkan gue makan. Ya kan tante?" Sania mengangguk lalu tersenyum.
"Ck! Bilang aja lo ga pernah makan. Kentara sih, dari bodynya aja udah keliat. Kurus kerempeng!"
Raga yang mendengar itu tidak terima, ia menyimpan sendoknya lalu mengangkat bajunya memperlihatkan perut kotak-kotaknya, "Ini lo bilang kurus? Enak aja! Badan penuh otot gini dibilang kurus kerempeng"
Ana mengalihkan pandangannya dari Raga, ia tidak mau melihat perut Raga. Raga terkekeh lalu kembali makan.
"Ana, kenapa semalam kamu pulang bareng Raga? Mana pulangnya tengah malem lagi" Tanya Sani.
Ana yang sedang mengunyah, langsung diam mendengar pertanyaan Bundanya. Ana berfikir, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Em, itu bund-" Sani menatap heran sekaligus curiga melihat Ana yang gelisah.
Raga yang mengerti langsung bersuara, "Semalem waktu Raga pulang dari rumah temen, Raga liat Ana di pinggir jalan, yaudah Raga singgah, terus Raga anter pulang deh" Jelas Raga. Sani mengangguk, lalu kembali makan.
"Ana ngapain di pinggir jalan?" Tanya Ridwan.
"La-" Baru akan menjawab, Raga memotong ucapannya.
"Ngegembel lah, apa lagi?" Potong Raga sambil tertawa, begitu pula Sani dan Ridwan.
Ana yang kesal, langsung saja mencubit kuat pinggang Raga. "Akhh, sakit anjir! Lepasin Na" Ana melepas cubitannya, menatap sinis Raga lalu melanjutkan makannya.
Raga mengusap pinggangnya sambil meringis, "Sssttt, kdrt ini namanya" Gumam Raga.
Bersambung-
Vote & Komen!!
See You~-Thank You💜
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGANA [END]
Teen Fictionºººº - RAGANA ALBIANO PUTRA & ANARA ADRIAN - Ragana Albiano Putra. Cowok 18 tahun, yang merupakan salah satu siswa populer di SMA NUSANTARA. Sifatnya yang ceria, membuat orang-orang menganggap bahwa dia baik-baik saja. Tapi tanpa mereka sadari, tern...