31

27 1 0
                                    

Bau obat-obatan terasa membius indra penciuman Raga. Perlahan ia membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang masuk. Dari aroma obat-obatan, Raga sudah bisa menebak bahwa ia sedang berada dirumah sakit. Ia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing. Saat hendak duduk pergerakannya ditahan. Ia menoleh dan langsung menatap kaget Ana yang duduk disamping brankar yang ditempatinya. Ana memutar bola matanya malas lalu kembali menampilkan wajah datar.

"Lo? Ngapain disini?" Tanya Raga dengan alis berkerut bingung.

"Bacot!" Setelah mengatakan itu, Ana beranjak dari sana tanpa memedulikan Raga yang terus memanggilnya.

"Sshh" Raga kembali memegang kepalanya yang sedikit pusing. Ia memejamkan matanya sesaat.

"Semalam gue pingsan? Trus siapa yang bawa gue kesini? Masa dia?" Gumam Raga bingung sendiri.

Sedangkan Ana. Ia berjalan menuju ruangan Ayahnya dengan perasaan bingungnya. Entah kenapa ia merasa senang dan lega setelah bertemu dengan Raga walau hanya sebentar. Ia mengangkat bahunya acuh, malas memikirkan itu.

Saat sedang berjalan ia tidak sengaja melihat pasangan muda yang sepertinya masih berumur 20an berjalan berdampingan. Wanita itu sepertinya sedang hamil, buktinya Ana dapat melihat perutnya yang sedikit membuncit. Ana tersenyum ramah karena wanita itu tersenyum padanya.

Ana berhenti sejenak, menatap punggung wanita tersebut dari jauh lalu melirik perutnya sekilas. Sadar dengan apa yang dipikirkannya, Ana segera menggeleng cepat lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Tanpa Ana sadari, Raga sedari tadi menatapnya dari jauh dengan pandangan yang sulit diartikan. Pikiran Raga sedang menjalar kemana-mana. Antara senang -atau menyesal.

"Sorry" Gumam Raga sambil terus menatap puggung Ana yang perlahan menjauh dan menghilang.

----

Raga mengacak rambutnya frustasi disertai berdecakan. Kepalanya masih sedikit pusing. Ia baru saja pulang dari rumah sakit, walaupun Ayah Ana melarangnya pulang sekarang. Ia tidak suka berlama-lama disana. Dan kepalanya semakin pusing akibat pikirannya dipenuhi dengan Ana. Ana dan Ana.

Ia terus mengingat tentang kejadian satu minggu yang lalu. Dimana ia dengan brengseknya mengambil sesuatu yang selama ini dijaga cewek itu. Dengan jahatnya ia melukai cewek itu dengan keadaan sadar. Entah kenapa ia juga masih bingung dengan alasan pasti ia menyakiti Ana. Ia seperti tidak sadar dengan semuanya. Yang ia tau pada saat itu ia sedang dalam keadaan emosi, frustasi, pusing, bingung dan putus asa.

Raga menghela nafas lelah. Ia lelah dengan semua ini. Tentu. Ia mendongak menatap bulan yang dikelilingi bintang. Terlihat indah. Beberapa detik kemudian ia terkekeh hambar.

"Bulan. Dia dikelilingi bintang tapi dia tetep sendiri. Sama kayak gue. Dikelilingi banyak orang, tapi serasa hidup sendiri. Kasian."

Ya, bulan itu sama sepertinya. Walaupun disekitarnya ia dikelilingi bintang, tapi ia tetap sendiri. Hanya ada satu bulan. Dan Raga adalah bulan itu.

Hidup di lingkungan seperti Raga memang sulit. Semua terasa hambar walau sudah dibumbui dengan kehadiran orang-orang disekitarnya. Ia merasa sendiri. Dan itu kadang membuatnya ingin menyerah.

----

Hiks.. hiks.. hiks..

Suara tangisan tertahan memenuhi kamar Ana. Ia duduk dipojok kamarnya dengan keadaan yang jauh dari kata baik. Seragamnya acak-acakan. Keadaannya sangat kacau. Pecahan gelas kaca berhamburan dibawah nakas. Sprei serta bantal sudah berantakan. Ia baru saja melampiaskan emosinya hingga membuat semuanya berantakan.

RAGANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang