23

34 3 0
                                    

[DUA PULUH TIGA]

Langit malam tampak gelap tanpa cahaya bintang maupun bulan. Hujan mengguyur deras di sertai udara dingin yang menembus pakaian.

Ana duduk bersandar dibawah pohon trotoar jalan yang nampak sepi. Hanya ada satu atau dua motor dan mobil yang lewat.

Jam menunjukkan pukul 19:50, tapi Ana belum pulang ke Rumahnya sedari pulang Sekolah. Ban mobilnya kempes, tapi ia tidak berniat meminta tolong pada siapapun. Untuk sesaat, ia akan membiarkan hujan deras dan udara dingin mengenai tubuhnya yang hanya mengenakan hoodie.

Ana mengedarkan pandangannya di sepanjang jalan yang dapat dijangkau indra penglihatannya. Ia segera mengenakan tudung hoodienya saat melihat sebuah mobil yang nampak familiar hendak lewat.

Ana menatap penuh emosi mobil yang perlahan menjauh dan menghilan dari penglihatannya. "Gue benci lo berdua!" Gumamnya tajam.

Sudah bisa dipastikan, itu Raga dan Kinan.

----

"Dari mana saja kamu?"

Pertanyaan dari Ayahnya tidak Raga dengarkan, ia tetap berjalan santai menuju lantai atas tanpa menoleh sedikitpun.

"Raga! Punya telinga tidak?!" Bentak Rando, sambil berjalan menuju Raga.

Raga berhenti ditengah tangga lalu berbalik.

Plak!

Kepala Raga tertoleh kesamping setelah mendapat tamparan kuat dari Ayahnya. Ia tersenyum miring, lalu menatap Ayahnya tidak percaya.

Ia berdecih, "Udah berani main tangan sama Raga?" Tanyanya.

Rando semakin emosi, tatapan tajam ia layangkan kepada Raga. "Kurang ajar!" Ia mengangkat tangannya hendak menampar Raga lagi, namun tangannya berhenti diudara.

Raga terkekeh sinis, "Kenapa berhenti? Hm?"

Rando menghela nafas kasar lalu kembali menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa, ia segera berjalan mendahului Raga lalu masuk ke dalam kamarnya.

Raga menatap datar sejenak pintu kamar Ayah dan Bundanya yang sudah tertutup, lalu lanjut berjalan menuju kamarnya sambil mengusap pipinya yang sedikit perih akibat tamparan Ayahnya.

Ia menutup kasar pintu kamarnya. Melepas tas serta sepatunya dan membuangnya asal, setelah itu ia menghempaskan tubuhnya diatas kasurnya.

Ia menghela nafas kasar lalu bangun dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah membersihkan diri, Raga kembali berbaring lalu memejamkan matanya mencoba tidur, namun tidak bisa. Ia tidak bisa tidur.

Ana.

Tiba-tiba ia teringat cewek itu. Ia segera meraih ponselnya lalu mengecek jam, pukul 20:45. Ia berfikir sejenak, "Masih disana?" Gumamnya. "Ah! Nggak penting!" Lanjutnya lalu kembali menaruh ponselnya disamping tubuhnya.

Sebenarnya, tadi ia melihat Ana di trotoar itu, tapi ia tidak mau menolongnya ataupun menyuruhnya pulang. Sengaja, mungkin?

Raga kembali mencoba untuk tidur, tapi deringan ponselnya kembali menggagalkannya. Ia berdecak kesal namun tetap mengangkatnya, tanpa melihat nomor yang menelponnya terlebih dahulu.

"Ass-"

"Assalamualaikum, Ga, Ana sama lo?" Tanya orang diseberang sana.

Ini suara Arlan. "Lo dimana?" Raga balik bertanya.

"Gue dirumah, Ana sama lo, kan?"

Raga terdiam, Arlan sedang dirumah, berarti Ana- Raga mematikan sambungan teleponnya, menyimpan ponselnya disaku celana lalu segera bangkit dari tidurnya. Ia meraih hoodie serta kunci mobilnya lalu segera keluar dengan tergesa-gesa.

Saat melewati ruang tengah, terdapat Ayah, Bunda serta Adiknya yang sedang menonton sambil bercanda bersama. Ia hanya melirik mereka sekilas tanpa berniat menyapa.

"Raga! Mau kemana? Diluar masih hujan!" Teriak Bundanya, namun tidak dihiraukannya.

"Biarin aja!" Ucap Rando ketus.

Di tempat lain..

Tubuh Ana sudah sedikit menggigil akibat terlalu kedinginan. Ia sudah berada dalam mobil. Ia ingin pulang tapi bagaimana caranya? Ponselnya sudah mati untuk menelpon orang datang menjemputnya. "Shit!"

Ia memutuskan untuk pasrah saja. Ia memejamkan matanya mencoba tidur, tapi suara klakson disampingnya membuatnya telonjak kaget. Ia berdecak kesal lalu perlahan membuka sedikit kaca mobilnya untuk melihatnya.

Kaca mobil tersebut terbuka, sedetik kemuadian raut wajah Ana berubah dingin. Ia kembali menutup kaca mobilnya dan mengunci semua pintu mobilnya. Itu Raga, orang yang ia benci.

Raga menutup kepalanya dengan tudung hoodienya lalu berjalan menuju mobil Ana. Ia mengetuk kaca mobil Ana, namun tak mendapat respon apapun. "Buka!" Teriak Raga agar dapat terdengar, namun hening, tak ada jawaban. "Ck!"

Raga memukul kencang kaca mobil itu, "Woy! Buka!"

Ana yang kesal memutuskan membuka sedikit kaca mobilnya tanpa mau menoleh. "Apa?"

"Pulang!" Perintah Raga tajam.

Ana terkekeh sinis, lalu menatap Raga tak kalah tajam. "Nggak!"

Raga berdecak kesal, "Jangan kayak anak kecil!" Bentak Raga.

Ana sedikit tersentak kaget, namun kembali seperti biasa. "Terserah gue!"

"Lo dicariin bego!"

Ana terdiam, ia melupakan itu. Ia segera mengalihkan pandangannya. "Gue nggak bisa pulang"

"Gue anter" Raga berbalik dan masuk kedalam mobilnya. Ia menoleh menatap Ana lewat kaca mobil, "Woy!"

"Nggak!" Tolak Ana mentah-mentah.

Raga berdecak kesal, lalu mengambil ponselnya disaku celananya. Ia mengetik sesuatu, lalu kembali menaruh ponselnya. Setelah itu ia melajukan mobilnya meninggalkan Ana.

Ana menatap motor Raga yang perlahan menjauh dan menghilang dari penglihatannya. Ia terkekeh sinis, "Lo berubah, atau emang ini sifat asli lo?"

Jejak👣

RAGANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang