55 [SELESAI]

93 7 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat, sudah 1 minggu berlalu sejak Ana diculik, dan sejak itu pula Raga dan Ana tak masuk sekolah. Alasannya tak lain dan tidak bukan, karena keadaan Raga yang tiba-tiba sangat buruk. Ana tak menduga ini akan terjadi, namun beda dengan Raga, ia sudah menduga ini dari jauh hari. Dan Raga sudah siap akan hal buruk yang akan terjadi selanjutnya.

Ana duduk disamping bankar yang ditempati Raga dengan tangan yang sibuk menyuapi Raga bubur.

"Udah Na, kenyang" Sejak melewati suapan ketiga Raga terus mengatakan itu.

"Gimana mau sembuh kalau kamunya aja makannya dikit banget" cibir Ana yang akhirnya pasrah, ia meletakkan mangkuk bubur tersebut kemudian memberikan minum untuk Raga.

"Ga nafsu"

"Yaudah kamu istirahat aja" Suruh Ana.

"Pusing nih"

"Ya makanya istirahat Ga," Ana yang mulai kesal hanya menghela nafas sabar. Ia memberikan peralatan makan Raga kepada suster yang kemudian pergi meninggalkan ruangan itu bersamaan dengan Ayah Ana yang masuk sambil menggeleng pelan.

"Nggak habis lagi buburnya?"

Ana dan Raga hanya membalas dengan senyuman kemudian mempersilahkannya memeriksa Raga.

"Gimana dok?" Tanya Ana.

"Detak jantungnya melemah-"

"Yah" Suara Raga menghentikan ucapan Ayah Ana. Raga berdehem sebentar, "Bisa tolong tinggalin kita berdua, sebentar aja?"

Ayah Ana yang mengerti dengan tatapan Raga pun akhirnya berpamitan dan keluar dari ruangan itu, menunggu didepan.

5 menit telah berlalu, dan mereka berdua hanya saling menatap sendu satu sama lain dengan pikiran masing-masing.

"Ana" Panggil Raga dengan suara pelan.

Ana tidak menjawab, ia hanya menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Raga. Ia merasa sedih, hatinya sakit dan ia tak tahu mengapa ia tiba-tiba merasa seperti itu.

"Jangan marah ataupun sedih, ya" Kalimat yang diucapkan Raga dapat membuat perasaan Ana tak enak.

Raga menunduk dalam, "Kamu-" Ucapan Raga terpotong oleh permintaan Ana yang membuatnya merasa bersalah.

"Jangan tinggalin aku, bisa?" Air mata Ana sudah menetes dipipi mulusnya yang tampak mulai berisi. Raga yang melihat itu ikut merasa sedih, ia merasa bersalah karena ia tak dapat memastikan jawaban yang tepat untuk itu.

"Nggak tau Na" Ia tidak tahu mau menjawab dengan apa, ia tidak bisa mengatakan ya ataupun tidak.

"Jangan nangis dong, aku ikutan sedih ini" Raga mengusap pelan pipi Ana dengan ibu jarinya, menghapus jejak air mata yang membasahi pipi istrinya.

Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja didepan Ana dengan kekehan singkatnya. Namun sebenarnya ia sudah merasa sesak, ia berusaha keras untuk mempertahankan ekspresi biasanya. "Ya Allah, sakit"

Ana semakin terisak, Raga kemudian meraih punggung Ana dan memeluknya erat seolah akan berpisah untuk selamanya.

"Aku nggak kuat, sayang" lirih Raga dibalik ceruk leher Ana.

"Jangan pergi" air mata Ana terus mengalir, namun tak menimbulkan isakan parah, ia menangis dalam diam. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri hatinya sungguh sesak. Sungguh, Ana tidak sanggup jika harus berpisah untuk selamanya dengan Raga.

"Sa-kit" Lagi-lagi lirihan yang terdengar keluar dari mulut Raga. Tangannya tanpa sadar meremas kuat punggung Ana.

"Tolong biarin gini bentar aja" Raga berkata lirih saat Ana hendak melepas pelukannya. Ia menghirup aroma rambut Ana yang mungkin tak akan lagi ia rasakan esok hari.

RAGANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang