28

35 3 0
                                    

Ana kembali kumur-kumur dan membasuh wajahnya untuk kesekian kalinya. Sejak pulang sekolah, tubuhnya terasa capek dan beberapa kali ia muntah. Kepalanya pusing, dan ia merasa mual.

Cewek itu perlahan merebahkan tubuhnya diatas kasur dan memejamkan matanya.

"Huwaa!" Rengek Ana. Ia rasanya ingin menangis saja. Ia paling tidak suka jika sedang mual seperti ini. Perlahan ia memejamkan matanya mencoba melupakan rasa sakit dikepala serta rasa mualnya.

Sejak setelah makan malam, ia mengurung diri dikamar sebab merasa tidak enak badan. Ia tidak mau orang tua serta Abangnya khawatir padanya.

Perlahan ia berusaha agar terlelap. Tapi matanya langsung terbuka lebar saat ketakutannya tiba-tiba muncul. Ia langsung bangun dan duduk diatas kasurnya. Rasa cemasnya semakin menjadi dan matanya sudah berkaca-kaca. Ia menggigit ujung jarinya dan menggeleng kuat sehingga air matanya turun mengalir dipipi putihnya.

"Nggak! Nggak mungkin!" Ia terus menggeleng kuat berusaha meyakinkan bahwa yang ia pikirkan tidak nyata. Ia menarik nafas dan menghembuskannya dan mengulangnya berkali-kali hingga merasa lebih tenang walaupun masih dengan perasaan takutnya.

Cewek itu menghapus sisa air matanya lalu kembali berbaring dan menarik selimut hingga leher. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang menjalar kemana-mana. Ana sangat takut saat ini. Ia harus memastikan sesuatu.

Tok.. Tok.. Tok..

Ana sedikit tersentak kaget mendengar ketukan dipintu kamarnya, tapi tak ayal ia segera bangkit dari berbaringnya dan berjalan membukakan pintu, setelah itu ia kembali berbaring menyamping membelakangi pintu. Ia tidak mau wajah sembabnya terlihat.

"Lagi ngapain?" Ternyata itu suara Ayahnya. Ana segera memejamkan matanya agar dikira hendak tidur.

"Nggak ada, Yah. Ana mau tidur" Jawab Ana.

Ridwan hanya mengangguk dan berjalan kearah balkon kamar lalu duduk dikursi yang ada disana. Ana membuka sedikit matanya, dahinya mengerut heran. "Ayah ngapain?" Gumamnya. Ia bangun lalu berjalan ke meja rias untuk melihat wajahnya jika masih kentara habis menangis. Setelah dirasa cukup, ia kebalkon dan duduk disamping Ayahnya.

Ridwan menoleh, "Loh? Katanya mau tidur?" Tanyanya dan mendapat gelengan dari Ana. "Nggak jadi" Jawab Ana.

"Tumben Ayah duduk disini?" Tanya Ana. Ridwan melirik Ana sekilas lalu terkekeh.

"Emang nggak boleh?" Ana segera menggeleng, "Boleh kok!" Jawabnya cepat. Ridwan kembali terkekeh, "Bercanda"

"Ayah mau ngomong. Soal Raga" Ana refleks menoleh cepat dengan raut wajah bingung. "Raga? Raga kenapa emang?" Tanyanya.

"Kamu masih pacaran sama dia?" Tanya Ridwan dan mendapat gelengan.

"Nggak. Emang kenapa Yah?" Ana balik bertanya. Tentu ia penasaran. Untuk apa Ayahnya bertanya soal hubungannya dengan Raga.

Ridwan mengangguk. "Kamu tau Raga kemana aja?"

Ana mengerut bingung. Dalam hati ia terkekeh sinis 'Kurang kerjaan banget gue sampe kepoin tuh orang kemana aja'

"Nggak tau tuh. Emang kenapa sih?" Ana semakin penasaran.

Ridwan menggeleng. "Nggak kenapa-kenapa sih. Cuman Ayah penasaran aja. Raga udah nggak pernah ke rumah sakit. Kalau ditanya pasti jawabnya sibuk. Makannya Ayah nanya, Raga kemana aja sampe buat cek kesehatannya aja nggak bisa" Jelas Ridwan.

Memang, Raga sudah tidak pernah lagi ke rumah sakit. Itu yang membuat Ridwan penasaran sekaligus khawatir. Bagaimanapun juga Raga adalah pasiennya. Dan Raga sedang sekarat. Ia khawatir terjadi sesuatu kepada Raga. Ridwan sudah beberapa kali menelpon Raga untuk sekedar menanyakan kabar atau alasan kenapa Raga sudah tidak pernah ke rumah sakit. Tapi selalu itu saja jawaban yang ia dapat 'Raga sibuk, Om'.

Ana tidak menjawab. Ia juga sedikit penasaran dan juga sedikit khawatir. Ia sendiri tau apa yang terjadi dengan kesehatan Raga. Ia segera menggeleng, menghapus rasa penasaran apalagi rasa khawatirnya. Ia ingin berusaha untuk tidak berurusan dengan apa yang menyangkut Raga.

"Kalau di sekolah Ana sering liat dia" Ucap Ana.

"Sekolah aja dia bisa. Masa ke rumah sakit doang nggak bisa" Ucap Ridwan. Bukannya ia ikut campur dengan urusan orang lain. Ia hanya tidak habis fikir saja. Dengan kondisi sekarat seperti itu, apa Raga tidak ada pikiran sedikit pun untuk mengecek? Ridwan juga tau gejala apa saja yang akan timbul pada Raga. Dan, apa Raga sama sekali tidak berpikir untuk itu? Ridwan menggeleng pelan memikirkan itu.

"Mungkin, dia ke rumah sakit lain?" Ucap Ana. Ridwan menoleh sekilas. Ah! Ia tidak berpikiran sampai situ. Ridwan mengangguk pelan. Ucapan Ana masuk akal.

"Mungkin. Tapi kenapa harus yang lain? Dari dulu kan dia sama Ayah terus. Kurang lebih dari dua tahun lalu. Waktu dia kelas satu SMA" Ucap Ridwan kembali berpikir.

Ana menghela nafas. "Ya kan itu terserahnya dia, Yah" Ucap Ana. "Udah deh, Yah, nggak usah dipikirin lagi. Mau dia mati juga terserah dia" Ridwan langsung memberikan tatapan tajamnya membuat Ana gelagapan sendiri. "Ma-maksudnya, nggak usah dipikirin lagi. Mungkin aja tebakan aku bener. Kan sia-sia waktu Ayah buat mikirin dia, sedangkan dia baik-baik aja karna emang dia ke dokter lain" Jelas Ana.

Ridwan mengangguk singkat lalu berdiri hendak keluar dari sana. Ia tersenyum kearah Ana. "Yaudah. Semoga dia emang ke dokter lain. Ayah keluar dulu. Sekarang kamu tidur. Udah jauh malam ini" Ucap Ridwan lalu berbalik dan keluar dari kamar Ana.

Setelah memastikan Ayahnya keluar, Ana masuk kedalam kamarnya, mengunci pintu balkon tak lupa menutup gorden. Setelah itu ia mengunci pintu kamarnya kemudian berbaring diatas kasur dan memejamkan matanya. Hari ini terasa melelahkan bagi Ana.

Jejak!

RAGANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang