30

30 3 0
                                    

Ana keluar dari Indoapril dengan kantong kresek ditangannya yang berisi mie instan bermacam rasa. Senyum tipis terlihat jelas diwajahnya. Ia sesekali melompat sambil bersenandung kecil. Moodnya sedang baik malam ini. Dan ia berencana menonton drakor sambil memakan mie instan.

Ia terus berjalan hingga sisa melewati lima rumah lagi ia akan sampai dirumahnya. Jalanan yang sepi karena rumah-rumah disekitar sini kosong, tak membuatnya takut berjalan sendiri karena terdapat lampu jalan disepanjang jalan.

Meom.. meom..

Ana berhenti ketika samar-samar ia mendengar suara kucing. Ia terus mengikuti suara kucing itu sampai ia menemukannya dibelakang salah satu rumah kosong. Ia mengambil ponselnya lalu menyenter kucing itu agar lebih jelas melihatnya. Senyumnya semakin mengembang setelah melihat kucing yang menurutnya sangat imut dan menggemaskan itu menatapnya. Ia segera menyimpan ponselnya dikantong kreseknya lalu menggending kucing itu. Kucing berwarna abu-abu itu belum terlalu besar dan bukan anak kucing juga.

Ana berjalan menuju jalanan dan kembali menuju rumahnya. Ia terus menatap gemas kucing digendongannya, tak peduli nanti bajunya akan kotor. "Umur lo berapa, hm?" Tanyanya namun kucing itu hanya menatapnya.

"Rumah lo? Dimana?" Tanyanya lagi. Walau tidak direspon karena kucing itu tidak mengerti apa yang ia ucapkan, tapi ia tetap mengajaknya bicara.

"Orang tua lo?"

"Majikan lo?"

"Oh iya! Nama lo siapa?"

Ana terlihat berfikir sejenak. Ia masuk kedalam rumahnya dan berjalan menuju dapur kemudian menurunkan kucing itu dari gendongannya. Ia berjongkok didepan kucing itu.

"Mulai sekarang lo tinggal sama gue, ya? Tenang! Duit gue banyak buat ngasih lo makan" Ana semakin semangat dengan kucing itu. Ia seperti baru saja menemukan teman baru. Ia mulai membayangkan hari-harinya bersama dengan- "Lo jadi anak gue, OKE?!" Ana dengan semangat mencap bahwa mulai sekarang kucing itu adalah anaknya.

Meom..

Ana refleks melompat-lompat sambil bertepuk tangan. Ia merasa sangat bahagia hanya karena kehadiran kucing ini. Ia bersyukur karena kucing ini tidak liar apalagi sampai mencakar atau menggigitnya. Ia kembali berjongkok lalu menggendong kucing itu menuju kamar mandi dikamarnya.

Ia menggulung lengan sweeternya lalu mengambil satu timba air. Ia berencana memandikan kucing barunya. Pergerakannya terhenti, ia kembali berfikir. "Mandiin nggak, ya?" Gumamnya. Ia mengangkat bahunya acuh. "Mandiin aja lah, lo kan pasti nggak pernah mandi" Ia perlahan menyiram tubuh kucing itu.

MEOM!

Ana terperanjat kaget sampai-sampai ia mundur kebelakang. "LO?!" Ana melototi kucing yang sudah berlari disudut kamar mandinya. "Lo bikin gue kaget tauu!" Ana yang kesal langsung saja keluar dari kamar mandi tanpa mengambil kucing itu. Pintu kamar mandi sengaja ia buka jika saja kucing itu mau keluar. Ia mengganti pakaiannya sebelumnya dengan kaos lengan pendek dan celana sepaha. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang bersprei abu-abu lalu menyembunyikan wajahnya dibalik bantal.

Meom?

"Alah bacot!"

Meom? Meom?

"Tidur aja sana dikarpet! Jangan ganggu gue! Besok baru lo bisa ngomong sama gue!" Merasa tidak ada jawaban lagi, Ana bangkit dari tidurnya lalu mengintip dibawah ranjangnya. Matanya menatap kagum seekor kucing yang sedang berbaring dengan mata terpejam dikarpet.

"Aishh! Lucu banget sih, anak guee. Nurut juga!" Ucapnya lalu turun dari ranjang dan mengelus kepala sang anak. Kucing itu menggeliat nyaman.

Meom..

Ana semakin gemas dengan kucing ini. "Emm ... gimana kalau lo gue kasih nama Mimi?! Iya Mimi! Aaa lucu banget anak guee!" Kucing itu menatapnya membuat Ana semakin gemas.

Meom..

"Sekarang kita kedapur. Gue kasih makan! Mumpung dirumah nggak ada orang, kita seneng-seneng bareng!" Ana berdiri lalu berjalan pelan keluar kamar sambil sesekali memanggil Mimi. Melihat Mimi yang mengikutinya dari belakang membuat senyuman Ana mengembang.

Orang tua serta Abangnya memang sedang keluar. Ayah dan Bundanya ada urusan soal pekerjaan, sedangkan Arlan, walaupun ia tidak diberitahu Abangnya itu kemana, tapi ia sudah memastika bahwa Abangnya itu pasti kerumah temannya. Ana tidak masalah jika ditinggal sendirian, asalkan ia diberi uang jajan.

Saat sampai didapur Ana mengambil kantong kresek yang tergeletak dilantai. Ia sampai melupakan rencananya yang hendak menonton drakor sambil menikmati mie instan. Ia menyimpan kantong kresek tersebut diatas meja dapur lalu berjalan menuju meja makan dengan Mimi yang terus mengikutinya.

Ana menghela nafas karena tidak melihat satupun makanan disatas meja. "Masa nggak ada sih? Perasaan Bunda masak deh, tadi" Gumamnya. Ia kembali berjalan menuju lemari di dapur. Biasanya Bundanya menyembunyikan makanan disitu. Dan benar saja, terdapat ayam goreng serta ikan goreng disana. Ana menggelengkan kepalanya. "Kebiasaan! Kayak nggak punya uang aja buat beli makanan lagi. Sampe disembunyiin gini" Cibir Ana lalu mengambil satu ekor ikan goreng. Ia berbalik lalu berjongkok dan tersenyum manis melihat Mimi yang berada dibelakangnya.

Meom..

Mimi menatap Ana dan ikan itu bergantian. Ana berdecak kagum melihat Mimi yang sangat sabar. Walaupun seekor ikan goreng sudah didepan matanya, Mimi tidak langsung merampasnya. Ia menunggu dikasih. Ana yang kasian langsung saja meletakkan ikan itu didepan Mimi. "Nih, makan. Lapar kan, lo?"

Meom..

"Sama-sama" Jawab Ana lalu terkekeh sendiri. Ia menjawab seolah-olah tahu yang dikatakan Mimi. "Gue kekamar yang tadi dulu, ya. Anak Mami harus abisin makanannya, habis itu susul Mami kekamar buat tidur, oke?"

Meom..

Ana terkekeh, ingin sekali ia mencubit anaknya ini! Ia bangkit dari jongkoknya lalu berjalan kembali kekamarnya. Ia sengaja tidak menutup pintu kamar agar anaknya bisa masuk. Ia menghempaskan tubuhnya diatas kasur lalu menatap langit-langit kamarnya. Ia menghembuskan nafasnya. Tiba-tiba ia kepikiran Raga. Entahlah, ia merasa akhir-akhir ini ia sering berkeinnginan untuk bertemu dengan Raga. Ia juga bingung sendiri.

"Lo apa kabar?" Ana terkekeh sendiri dengan gumamannya barusan. "Sebesar apapun gue berusaha lupain lo, tetep nggak bisa"

"Gue udah terlalu cinta. Sampai benci pun rasanya nggak bisa. Susah."

----

Raga menghentikan motornya dipinggir jalan sepi lalu turun dari motornya dan duduk bersandar dibawah pohon trotoar. Ia menghela nafas lelah. Ia lelah menjalani hidupnya yang menurutnya sangat sulit baginya.

"Akhh!" Raga berteriak kesakitan setelah tiba-tiba merasakan sakit yang menghantam dada kirinya. Ia menunduk dengan mata terpejam. Ia mencengkram kuat batu digenggamannya, mencoba melampiaskan rasa sakitnya.

"Capek." Gumamnya lirih sebelum kehilangan kesadaran.

Jejak!

RAGANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang