36

26 1 0
                                    

[TIGA PULUH ENAM]

Ana menatap tak minat makanan kesukaannya, nasi goreng, didepannya. Ia menghela nafas, nafsu makannya tiba-tiba hilang. Tergantikan dengan keinginan yang lain, tapi ia malu mengatakannya.

"Ah! Bodo amat, lah!" Akhirnya ia mengalahkan gengsinya. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah munuju lantai atas, ke kamarnya.

Ia membuka pintu pelan dan mengintip sebentar. Terlihat didalam sana Raga sedang membereskan barang-barangnya dan juga barang-barang Ana. Kening Ana mengerut bingung. Ia masuk dan menutup pintu lalu berjalan mendekati Raga. Merasa ada yang masuk, Raga berbalik dan langsung tersenyum melihat Ana.

"Baju-baju gue mau diapain?" Tanya Ana bingung. Raga menutup koper setelah selesai menyiapkan pakaian Ana.

"Kita bakal pindah, Na" Jawab Raga santai sambil merapihkan lemari yang sempat sedikit acak-acakan saat mengambil pakaian tadi.

"Kok pindah, sih?" Tanya Ana sedikit menolak.

Raga menatap Ana. "Kan, nggak mungkin lo sama gue tinggal disini. Kita pindah di apart gue aja, Na" Jelas Raga.

"Berdua?" Tanya Ana lagi.

Raga menggeleng. "Bertiga" Sebelum Ana bertanya lagi Raga segera melanjutkannya. "Sama Baby juga" Lanjutnya sambil melirik perut Ana yang masih rata.

Entah kenapa, Ana merasa malu sekarang. Ia mengalihkan pandangannya. "Yaudah, terserah aja"

Raga terkekeh pelan. Raut wajahnya berubah serius. "Na, gue mau ngomong serius"

Ana kembali menoleh dan mengangkat alisnya satu. "Apa?" Tanyanya.

Raga mendekat kearah Ana dan menatapnya. "Gue, minta maaf, ya?"

Ana menghela nafas. "Udah berapa kali, lo, minta maaf" Ucap Ana sedikit kesal.

Raga tersenyum tipis menanggapinya. "Lo, belum maafin gue, Na. Berapa kali pun, gue minta maaf, kalau belum dimaafin, gue nggak akan berhenti" Jelas Raga.

Ana kembali menghela nafas. "Untuk kesalahan yang mana, Ga? Soalnya kesalahan, lo, banyak"

Raga tersenyum kecut. Memang benar, kesalahannya banyak. "Semuanya. Entah itu kesalahan kecil atau besar. Gue minta maaf untuk semuanya" Jawab Raga.

Ana terdiam sejenak, "Gue udah pernah maafin, lo, sebelumnya. Tapi lo tetep ngulang kesalahan yang bahkan lebih parah. Dan mungkin nggak bakalan bisa dimaafin, bagi orang lain"

"Sorry" Raga menatap dalam Ana. Hanya itu yang dapat diucapkannya sekarang.

"Lagi" Ana terkekeh sinis. "Sbelumnya lo udah pernah minta maaf dan tetep diulangin. Gue nggak bisa percaya kata maaf dari, lo. Udah berpengalaman gue"

"Oke. Gue ngaku, gue salah. Tapi, lo beneran nggak mau maafin gue? Atau, lo butuh waktu? Jelasin ke gue, Na. Biar gue ngerti. Gue udah bilang sebelumnya, gue nggak bisa ngejalanin hidup gue dengan tenang kalau ini belum selesai. Setidaknya kasih gue kesempatan sekali lagi. Gue mohon."

"Dan kesempatan itu lo manfaatin buat bikin gue jatuh semakin dalam. Terus, lo buat kesalahan lagi. Terus minta maaf lagi dan maksa gue buat maafin, lo" Air mata Ana mulai mengalir.

Jika boleh jujur, Ana sangat menginginkan Raga. Dan ia sangat senang melihat Raga yang sangat mengharapkan maaf darinya. Ia tidak munafik. Ia tidak bisa benci pada Raga. Tapi, ia masih belum bisa menerima semuanya.

Tanpa menjawab terlebih dahulu, Raga langsung saja membawa Ana dalam pelukannya. Ana diam, membiarkan Raga memeluknya, tapi ia tidak membalas. Isakan mulai terdengar dari Ana. Raga mengusap pelan rambut belakang Ana.

"Sstt jangan nangis. Disini gue yang salah" Setelah dirasa tagisan Ana mulai mereda, Raga menarik kepala Ana, ia menghapus sisa air mata dipipi Ana dan menatapnya lekat.

"Gue harus apa biar lo maafin gue? Hm?" Tanya Raga.

Ana menggeleng pelan membuat Raga menatapnya bingung. Tanpa menjawab, Ana langsung memeluk erat Raga disertai isakan kecilnya. Ia tidak mau memaksakan kegengsiannya untuk memeluk Raga. Itu keinginannya sedari tadi. Itu tujuannya menemui Raga.

Raga membalas pelukan Ana dengan senang hati. Walaupun ia sendiri juga tidak tau kenapa Ana tiba-tiba seperti ini. "Lo kenapa?" Tanyanya ragu-ragu, namun hanya gelengan yang ia dapat. Ia diam-diam tersenyum senang. Setidaknya Ana tidak membencinya. Dan ia akan tetap berusaha menembus kesalahannya.

Ana melepaskan pelukannya setelah dirasa puas. Ia mengelap wajahnya dengan bajunya dan merapihkan penampilannya kemudian mendongak menatap Raga. "Thanks" setelah mengucapkan itu ia mengambil handuk yang tergeletak diatas ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

"Untuk?" Tanya Raga.

Ana menoleh sekilas. "Lupain" Jawabnya sebelum menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Raga terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. "Gengsi lo ketinggian, Na"

----

Raga memasukkan koper Ana lalu menutup bagasi mobil. Ia kemudian berjalan menuju teras rumah Ana untuk pamit. Disana sudah ada Sania dan Arlan, Ridwan tidak ada karena sudah lebih dulu ke rumah sakit, tapi pagi tadi Raga tadi sudah sempat pamit.

"Hati-hati, ya, dijalan. Ana jangan nyusahin Raga, kasian Raganya" Ucap Sania.

"Ana nggak pernah nyusahin orang, ya!" Jawab Ana kesal.

"Ya kan, cuman dikasih tau biar ngga dilakuin" Jelas Sania.

Arlan mendekati Ana lalu merangkulnya. "Baek-baek ya Dek. Jaga diri disana, kali aja si Raga ngasarin lo" Ucap Arlan sambil melirik Raga. Raga hanya terkekeh menanggapinya, ia tau Arlan hanya bercanda.

Sania memukul pelan lengan Arlan. "Kamu ini!" Arlan terkekeh pelan, "Canda kali, Bund"

"Yaudah. Raga sama Ana pamit dulu Bund" Pamit Raga dan menyalimi tangan Sania diikuti Ana.

"Sama gue nggak?" Tanya Arlan.

Raga hanya meliriknya sekilas, "Harus?" Tanya Raga balik membuat Arlan menahan kesal. Sedangkan yang lain terkekeh melihatnya.

"Serah lo deh. Sana pergi!" Jawabnya sambil mendorong pelan bahu Raga dan Ana.

Jejak!

RAGANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang