Happy Reading :)
...
Arsen melempar kasar kertas ulangan Boo di meja belajar. Tatapannya naik menatap Boo yang berdiri di depannya. Itu adalah kertas ulangan beberapa hari lalu yang Boo kerjakan dengan pikiran yang berkecamuk.
"Sembilan puluh lima. Kemana lima poin lagi, hah?!" tanya Arsen dengan nada membentak. "Tante Dea bilang kamu tidak konsentrasi saat ngerjain ulangannya, betul?"
Boo mengangguk cepat. Ia sudah tidak heran lagi dengan Bu Dea yang sering di hubungi oleh Arsen karena guru matematika itu adalah tantenya.
"Bisa-bisanya kamu ngilangin lima poin di ulangan matematika," ucap Arsen.
Boo membalas tatapan Arsen yang memojokkannya. Apa yang salah dari nilai sembilan puluh lima? Itu termasuk nilai yang tinggi.
"Sembilan puluh lima nilai bagus, Yah. Kesalahan dalam ngerjain soal itu hal yang wajar." Boo mencoba membela diri. Ia cukup muak dengan Arsen yang selalu menginginkan anaknya mendapatkan nilai seratus alias sempurna.
"Bagus kamu bilang?" tanya Arsen dan Boo mengangguk. "Kamu harapan ayah satu-satunya dan ayah harus banggain kamu di depan kakek kamu. Menunjukkan kalau kamu adalah cucu yang patut dibanggakan, pintar dan berkelas."
"Ingat Al, kita berasal dari keluarga yang mempunyai nilai sempurna. Ayah adalah lulusan terbaik dari universitas Indonesia, Bunda kamu adalah mahasiswi kedokteran yang berhasil lulus dari stanford dan kakek nenek kamu adalah orang-orang hebat yang lulus dengan nilai paling tinggi," kata Arsen panjang lebar memberitahu kepada anaknya.
Boo diam. Tanpa Arsen tahu semuanya, cowok itu sudah tahu bagaimana keluarga besarnya sangat mengagung-agungkan kepintaran dan nilai yang sempurna. Di mata keluarga besarnya, nilai sempurna dan prestasi yang gemilang adalah suatu hal yang mengharuskan.
"Ini pertama kalinya Al dapat nilai sembilan puluh lima, apa Ayah nggak bisa maklumin? Selama ini nilai seratus selalu Ayah lihat," balas Boo. Tatapannya berubah kecewa. "Hanya karena kehilangan lima poin bukan berarti Al jadi bodoh dan nggak bisa dapat nilai tinggi lagi!"
Arsen menghela napas panjang. Melihat ayahnya yang tidak lagi berdebat dengannya, membuat cowok itu lekas mengambil jaket dan kunci motornya yang tergeletak di ranjang.
"Mau kemana kamu?" tanya Arsen melihat pergerakan anaknya yang ingin pergi.
"Ke rumah Saffiyah," jawab Boo jujur. Cowok itu tidak mau membuat Saffiyah menunggu lama di sana.
"Pacar kamu dia?" tanya Arsen dan Boo mengangguk. Boo bisa melihat tatapan tidak suka dari Arsen saat ia menganggukkan kepalanya.
"Semenjak kamu berpacaran, Ayah perhatiin kamu banyak berubah. Dan nilai sembilan puluh lima ini apa karena pengaruh dari pacar kamu?" tanya Arsen lagi membuat Boo yang selesai memakai jaket dan berdiri di depan Arsen, menatap Ayahnya.
"Ini nggak ada sangkut paut sama dia," balas Boo. Ia tidak akan membiarkan Saffiyah masuk ke dalam permasalahan keluarganya.
"Kalau gadis itu bawa pengaruh buat kamu. Ayah mau kamu putusin dia!" sergah Arsen.
"Maaf, Yah, Al nggak bisa putusin dia," jawab Al. Kemudian berlalu dari hadapan Arsen, meninggalkan Arsen yang berbalik badan menatap punggung anaknya yang perlahan menjauh.
"Kalau gitu Ayah akan cari tahu seberapa pintar dia di sekolah."
***
"Lo mau kemana, Al?" Hara berlari keluar rumah dan mencegat Boo yang sudah duduk di motor sedang memasang helmnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PACARNYA BOO
Teen FictionSatu hari sebelum mawar putih layu dia pernah berkata, "Jangan takut kehilangan. Karena sejatinya hidup adalah tentang kembalinya ke pelukan Tuhan." Saffiyah adalah gadis yang menduduki peringkat akhir di sekolah hal itu membuat Saffiyah mendapatkan...