#chapter 44

418 21 0
                                    

Seperti biasa, setiap malam lelaki itu sudah pasti diam merenung di depan balkon kamarnya. Kegiatan itu menjadi rutinitas di setiap hari satria.

Di temani dengan gitar kesayangannya satria mulai lihai memainkan satu persatu senar itu. Di tatapnya malam yang selalu sepi oleh kehadiran bintang bahkan bulan juga turut kembali menyendiri.

Sama seperti perasaannya.

Lagi-lagi hanya sunyi yang menyapa satria, sebagian besar diri lelaki itu hilang entah kemana. Rasanya ada yang kosong. Setiap harinya kadang ia selalu merasakan perasaan yang tak utuh dari tubuhnya.

Ia mencoba untuk membahagiakan dirinya sendiri, namun hasilnya nihil. Rasa itu tak ingin hilang barang sedikit pun, seolah tak ingin beranjak dari tubuhnya.

Kembali dengan satria yang menjadi sad boy di waktu malam, lelaki itu menyugar rambutnya frustasi. Tak puas, ia merasa tak puas dengan kegiatan yang di jalankannya hari demi hari. rasa kosong itu kembali selalu mengisinya.

Nada dering ponsel menyita perhatiannya, itu ponselnya yang berbunyi. Satria melihat notifikasi masuk dari sebuah sms.

Unknown

Gue di malang, mau meet?

Siapa?

Unknown

Regi

Perasaannya membaik seiring dengan kabar yang di tunggu-tunggu olehnya selama beberapa bulan terakhir ini.

Satria mengendarai motor sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Iya, dia bertemu regi pada akhirnya.

Tujuan utamanya tidak untuk bertemu dengan lelaki yang menjadi adik dari guru yang di sukainya sejak dulu, tetapi ada sesuatu yang ingin satria pastikan hari ini saat bertemu regi nanti.

Sampai pada sebuah caffe yang terletak di pinggir jalan sebrang mall besar ia memberhentikan motornya.

Netra matanya menatap sekeliling dengan cukup asing, ia baru pertama kali menyusuri kota ini dengan arahan shareloc dari regi.

Satria mendial nomor telepon regi yang langsung di save-nya setelah lelaki itu mengirimkannya sms.

“lo dimana?”

“out door, lo kesini aja.” jawab regi dengan suara khasnya.

Buru-buru satria mengambil langkah lebar memasuki pintu caffe, ia berjalan ke sebuah ruangan yang menampilkan suasana out door, tempatnya cukup nyaman memang. Regi pintar memilih tempat yang sedikit jauh dari kata ramai.

Beberapa perempuan disana menatap satria penuh damba saat lelaki itu melewati meja yang di isi penuh oleh kaum hawa.

Ada yang secara terang-terangan memujinya tampan, dan sebagainya. Tapi bukan itu yang menjadi daya tarik satria untuk berkenalan bersama sekumpulan perempuan disana.

Tujuannya tidak berubah, ia menemui regi semata-mata hanya untuk memastikan perasaannya. Memilih melangkah atau berhenti melangkah.

3 menit mereka berdua dilanda hening, sampai pertanyaan dari regi membuat satria menatap bola mata hitam lelaki itu penuh keseriusan.

“kakak gue telfon lo, sat?”

Satria tidak mengerti, ia mulai menautkan alisnya sampai menyatu sempurna.

“renata gak ada telfon gue.” jawab satria.

Regi menebak ucapannya kali ini akan membuat satria langsung membuka ponselnya cepat-cepat.

“tadi kakak gue telfon lo—”

Benar saja, lelaki di hadapannya langsung membuka ponselnya dengan tergesa. Di lihatnya daftar panggilan hari ini yang berisikan 5 kali nomor tak di kenal menelfonnya.

Beberapa jam yang lalu, sekiranya jam 4 sore dia menelfon satria.

“nomor ini?” satria menunjukkan nomor asing itu kepada regi.

Anggukan dari regi membuat satria sedikit bahagia. Akhirnya, penantiannya akan di balas oleh wanita itu.

Memang ekspetasinya selalu tinggi sampai membuatnya kerap kali menebak pasti wanita itu akan kembali jatuh padanya.

Padahal realita kadang tak semanis ekspetasi, satria terlalu mengharapkan sebuah keajaiban yang menjadi tumpuannya.

“surat gue udah ada di tangan lo?” tanya regi sambil mengaduk ice coffee yang di pesannya.

“surat apa?”

“ada anak jurusan gue nitipin surat ke lo kan? Pesannya dari anak sastra.” regi berusaha mengingatkan satria.

Satria mereka ulang kejadian hari ini di otaknya, “anak sastra, itu lo?”

Lelaki blasteran amerika-indonesia itu mengangguk, “gue udah nulis nomor renata di sana, sama pesan dia yang mau di sampein ke lo.”

“renata nulis pesan buat gue di surat itu?” wah, satria merasa takjub dengan wanita itu. Ternyata ego nya sedikit-sedikit sudah di berantas rapih oleh renata.

“gue belum buka suratnya, nanti di rumah gue coba baca. Tapi, lo ngapain ada di malang?” tanya lelaki itu penasaran pada regi.

“kuliah lah, gue satu kampus sama lo.” cengir regi.

“enggak di suruh renata buat mata-matain gue kan?” tanya satria dengan percaya dirinya.

Regi mencibir, “ngapain, anjing? Halu lo ketinggian!” selanjutnya ia tertawa.

“tapi tenang, gue bakal bantu kalian berdua buat sama-sama.”

“thanks, gi.” senyum tipis satria berikan pada regi.

Perasaan kosong itu sedikit demi sedikit terisi walau hanya beberapa persen saja. Tapi jauh dari lubuk hatinya, satria selalu berharap rasa kekosongan itu hanya akan terisi penuh jika wanita itu datang.

Satria yakin dengan keputusannya, ia tidak memikirkan segala resiko nanti yang akan menghambatnya. Dan ternyata takdir sedikit demi sedikit memberikannya petunjuk di sebuah kisah cintanya dengan renata.

Aneh memang jika di ingat oleh satria ketika ia terus mengejar guru tercantik di sekolahnya, rasanya awalnya ia membantah bahwa ia sendiri menyukai guru dingin nan datar itu.

Tapi takdir tidak ada yang tahu, bahkan ujung-ujungnya satria terpikat penuh oleh daya tarik renata.

Di titik ini, semua sedikit berjalan mulus walau tak sepenuhnya satria selalu merasa takut dengan akhir cerita mereka. Bukan masanya memang ia mengejar cinta di jaman sekarang. Kadang orang hanya memakai cara instan untuk mendapatkan seorang perempuan.

Memang dasarnya renata perempuan yang memiliki pesona kuat, sehingga membuat satria jatuh bangun lalu jatuh lagi untuk hanya meyakinkan bahwa lelaki itu sangat mencintainya.

Rasa frustasi, kecewa, bingung. Semuanya sedikit demi sedikit mulai terangkat, beban yang di buatnya sendiri seolah berkurang.

Satria yakin dengan keputusannya, ia memilih untuk terus melangkah memperjuangkan renata.

***

I LOVE YOU MRS. RENATA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang