#chapter 45

492 30 0
                                    

Beberapa kali lelaki itu mendial nomor seseorang di ponselnya, berharap perempuan disana menjawab telfonnya atau setidaknya membalas pesan singkatnya.

Satria berjalan bulak-balik di dalam kamarnya, berharap cemas karena sejak 1 jam yang lalu ia menghubungi nomor renata, tak pernah sekalipun perempuan itu angkat. Dan kenapa nomornya selalu tak aktif?

Ia sempat menanyakannya pada regi, tetapi jawaban lelaki itu tak membuatnya puas sekalipun. Regi sama halnya dengan satria, beberapa kali lelaki itu menelfon kakaknya tapi sama sekali tidak ada jawaban. Nomor itu tidak aktif.

Satria sibuk dengan fikirannya yang kesana-kemari sampai lupa dengan jadwal kelas hari ini yang di majukan 1 jam lebih cepat dari biasanya.

Nomor tak di kenal tiba-tiba masuk kedalam panggilan ponselnya. Lelaki itu cepat-cepat mengangkat, sedikit berharap bahwa itu adalah renata yang menelfon.

Detik selanjutnya ia mengacak rambutnya frustasi. Bukan, bukan renata yang menelfonnya melainkan sosok perempuan yang tidak di sukai satria saat berada di kampus.

“sat! Lo dimana?!”

Satria tidak menjawab, ia sempat ingin mematikan panggilan dari zia tetapi ucapan perempuan itu tiba-tiba menyadarkannya tentang jadwal kelas cepat yang akan dilaksanakan pada hari ini.

“15 menit lagi dosen dateng! Lo enggak lupa soal jadwal hari ini yang di majuin 'kan?”

Satria segera menutup sambungan telfon, lalu bergegas mencari pakaian yang cocok untuk ia kenakan hari ini.

“dek! Abang berangkat.”

Tidak ada sautan, lelaki itu mengernyit heran saat mendengar tidak ada suara apapun dari adiknya.

Lalu pandangannya turun ke arah jam tangannya berada, pukul 9 lewat.

Adiknya sudah berangkat pukul 07.00 tadi. Ia merutuki kebodohannya, satria cepat-cepat mengunci rumahnya karena tidak ada siapapun orang di sana.

“mang! Titip kunci rumah ya. Kalau zevanya pulang kuncinya ada di pot!” satria berseru pada penjaga rumahnya. Setelah mendapat anggukan dari sang penjaga rumah ia buru-buru menaiki motor sport hitamnya yang kebetulan terparkir rapih di halaman depan rumahnya.

10 menit lagi, cukup untuk ia tempuh menuju kampusnya. Kecepatannya berkendara seperti biasa, di atas rata-rata. Satria selalu seperti itu jika tengah terburu-buru.

Dibalik helm full face-nya ia berdecak kesal karena beberapa kali berhenti oleh ulah lampu merah. Ia mengambil jalan tikus di ujung sana. 5 menit setidaknya pas untuk sampai, walaupun harus jalan terlebih dahulu ke gedung jurusannya yang sedikit jauh dari arah parkiran motornya di kampus.

“selamat! Lo enggak telat.” zia menunggu kehadiran lelaki itu di depan pintu jurusan, ia melipat tangannya di depan dada. Memperhatikan penampilan satria yang sedikit berantakan hari ini. Tak apa, malahan jika lelaki itu acak-acakan akan terlihat lebih tampan berkali kali lipatnya.

“thanks, udah ingetin gue tadi.” setelah mengucap kata tadi lelaki yang mengenakan outfit kemeja juga jeans itu langsung memasuki tempat kelasnya. Meninggalkan zia yang tersenyum gemas akan perilaku lelaki itu.

Zia menyunggingkan senyumnya saat melihat kepergian satria, lelaki itu menarik. Zia harus memperjuangkannya.

♪♪♪

Kelas sudah selesai beberapa menit lalu, satria langsung tancap gas menuju gedung yang berbeda dengan arah jurusannya berada.

Sastra, disana satria melangkahkan kakinya. Koridor ramai dengan orang yang berlalu lalang, mungkin sudah waktunya istirahat? Di karenakan sudah menjelang tengah hari.

“ada regi?” satria bertanya pada salah satu anak sastra yang berada di sana.

“masuk aja, enggak ada dosen.” balas lelaki di hadapannya. Satria mengangguk seraya berucap terima kasih.

“gi!”

Regi meluruskan pandangannya saat ada seseorang yang memanggil namanya.

“lo ngapain?” regi bertanya, ia sedikit bingung dengan kehadiran satria disini.

“ikut gue, buru.” ajaknya, regi mengangguk lalu izin membereskan barang-barang di mejanya yang cukup berserakan itu kedalam tasnya.

“kenapa?” tanya regi saat mereka berdua sudah berada di tempat yang lumayan sepi dari anak-anak fakultas lain.

“gue enggak bisa hubungin renata.”

Lelaki itu menghela nafasnya saat berbicara dengan regi, kilatan gairah di matanya surut sudah saat bercerita soal renata.

“gue juga belum nerima kabarnya, sat. Mami juga gue hubungin enggak ada balasan.” balas regi.

Satria terpaksa mengangguk mendengar perkataan regi tadi, ia tidak bisa memaksa regi untuk terus ikut campur dalam urusan kisah percintaannya.

“yaudah, thanks sebelumnya. Nanti gue bisa cari tahu sendiri.” satria beranjak dari tempat duduknya.

Regi dengan cepat menahan pergelangan tangannya. “sat,” panggilnya dengan suara pelan.

Satria menunduk, melihat raut wajah regi yang tidak seperti biasanya. Ia sedikit bertanya dalam hati ada apa dengan regi hari ini?

“kalau renata pindah lagi ke amrik, gimana?”

♪♪♪

“ayah?”

Tubuh satria membeku di tempat, kehadiran orang itu selalu menjadi kesalahan besar dalam hidupnya. Beberapa kejadian di dalam kepalnya berputar bak kaset rusak.

Di sana, yesa berdiri dengan senyuman yang selalu menyapa putra tunggalnya. Pria itu melebarkan kedua tangannya, bermaksud untuk lelaki itu datang kedalam pelukan hangatnya yang di nanti-nanti setiap pria itu pulang.

Mata satria memanas, namun ia tidak ada niatan untuk mengeluarkan satu tetes air mata sekalipun. Perbuatannya, rasa kecewanya, tentang bundanya yang tersakiti apa pria itu tidak merasakan betapa sakitnya yang istri dan anaknya rasakan?

Ayahnya memang jahat, tapi satria tidak bisa membencinya. Ia ingin, tapi rasanya sulit, sulit sekali. Ia ingin melepas ayahnya tapi tidak bisa, kehadirannya selalu satria tunggu-tunggu sejak beberapa tahun lamanya.

Terakhir ia merasakan pelukan sang ayah waktu lelaki itu masih menginjak SMA. Ayahnya datang, lalu mengejutkannya.

Walaupun ada rasa tidak rela jika pria itu seenaknya pergi dan datang lagi tapi untuk satria ayahnya segalanya, ayahnya dunianya setelah sang bunda.

Selama beberapa bulan terakhir, tepat saat kejadian itu terjadi. Satria menyembuhkan lukanya sendiri, mengubur rasa kecewanya yang dalam untuk sang ayah. Sulit, sangat sulit. Peran sang ayah begitu penting di hidupnya, sampai-sampai rasanya ia ingin menghapus nama pria itu dalam hidupnya. Lagi-lagi ia tak bisa.

“enggak mau peluk ayah?” yesa tersenyum miris dengan ekspresi wajah satria yang jauh berbeda dengan terakhir mereka bertemu.

“jahat,” satria bergumam lirih, ia menatap mata ayahnya dengan tajam seolah pria itu adalah musuhnya.

Yesa terdiam kaku mendengar suara lirih satria, ia ingin mendekati anaknya namun langkah pria itu seperti ada yang menahannya.

“ayah, jahat.”

***

I LOVE YOU MRS. RENATA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang