23. NYAMAN?

15.5K 1.8K 96
                                    

Vega sudah melacak keberadaan Bramasta, cowok itu sekarang ini tengah berada di sebuah pasar. Vega dengan tangan terkepal dan emosi yang tersulut berjalan menghampiri Bramasta yang sedang merokok. Keadaan pasar yang sepi, hening, dan tidak ada orang sama sekali kecuali dirinya dan lelaki sialan itu.

"Good night, Bramasta." sapa Vega dengan tersenyum smirk.

"Ngapain lo disini?!" tanya lelaki itu terkejut.

Vega tertawa hambar, "Masalah lo sama gue, bukan sama temen-temen gue." Vega mendekat, "Ternyata lo sepengecut itu, ya."

Kok bisa dia masih baik-baik aja. Geramnya dalam hati. Bramasta meniliti wajah Vega, sudut bibirnya robek, dahinya memar. Namun cewek itu masih berdiri dihadapannya. Harusnya cewek itu sudah musnah sekarang dan tidak menganggu rencananya.

"Why? Lo berharap gue mati? Hahaha! Jangankan lo, gue aja berharap juga gue mati. Tapi nggak ditangan orang kayak lo." kata Vega seolah tahu isi kepala Bramasta.

"Atas dasar apa lo suruh orang-orang itu buat lenyapin gue?" tanya Vega mengintimidasi.

Bramasta diam, tidak ingin menjawab.

"Apa karena lo tahu kalau gue ada hubungannya dengan Rara?"

Vega mencengkeram kerah baju lelaki itu, tangannya sudah gatal untuk menonjok wajah lelaki dihadapannya ini.

Tatapan Vega menusuk, menandakan emosi gadis itu berada di ujung tanduk.

Bramasta menampar keras pipi Vega. Vega memegang pipinya yang terasa panas.

"Cewek jalang! Gara-gara lo hidup gue nggak aman lagi."

"Kasih tau gue apa hubungan lo sama Rara, setelah itu gue nggak akan ganggu hidup lo. Kecuali kalau lo ngusik!" bogeman mentah melayang di sudut bibir Bramasta.

Bramasta tersenyum miring.

"Dia pelacur gue."

"Brengsek!" sekali lagi Vega menonjok dengan kekuatan penuh wajah lelaki itu hingga hidungnya patah dan mengeluarkan banyak darah.

***

Setelah mengalami pergelutan dengan Bramasta, Vega memilih untuk menjenguk Berta di rumah sakit dan meminta maaf padanya.

Vega mengepalkan tangannya, kata-kata pelacur yang keluar dari mulut Bramasta membuat Vega tidak percaya. Seorang seperti Rara tidak akan melakukan hal menjijikan itu. Jika karena uang, Mamahnya masih bisa menafkahi.

Vega membuka pintu kamar rumah sakit bernomor 34 dengan perasaan bergemuruh. Vega merasa bersalah, bagaimana ia harus menjelaskannya kepada teman-temannya.

"Gue udah telpon lo beberapa kali, Ve. Nggak lo angkat. Lo juga terluka gini, harusnya lo juga dirawat di rumah sakit." tukas Rosa.

"Gue nggak apa-apa."

"Apanya yang nggak apa-apa coba, lo bonyok gitu, apalagi ngelawan orang-orang tadi. Gue lawan dua aja jadi kayak gini, gimana lo yang lawan mereka semua." tutur Berta dengan kepala yang diperban.

"Yang penting lo baik-baik aja." jawab Vega. Ia ikut meringis, luka Berta lebih parah darinya.

"Lo nggak mau periksa? Mumpung ini di rumah sakit?" tanya Kania.

Vega menggeleng, "It's oke." katanya meyakinkan teman-temannya.

"Ta, gue minta maaf banget. Gara-gara gue lo jadi kayak gini." sesal Vega. Menatap penuh penyesalan.

Berta tersenyum, "Masalah lo, masalah kita juga, Ve, kita udah kayak saudara. Jangan sungkan-sungkan kalau mau cerita, Ve. Kita pasti bantuin." ujar Berta dengan tatapan tulus. Ia tidak ingin memaksa Vega untuk bercerita.

DISHARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang