Seperti petir yang menyambar segala harapannya, kakinya terasa berat untuk melangkah, sambil menahan luka lebam di wajahnya. Tidak hanya luka dihatinya dan segala rasa sakit yang diberikan, namun juga isak tangis yang membasahi wajahnya.
Vega memasuki ruangan bernuansa putih, melihat Sarah yang terduduk lemas dengan tatapan kosong, meratapi kepergian anaknya.
"Ve..." Sarah menuntun Vega untuk melihat Rara terakhir kalinya.
Hatinya hancur, bagaimana bisa Tuhan begitu keji padanya? Apakah luka yang ia alami sekarang ini belum cukup? Mengapa Tuhan mengambil orang yang ia sayang untuk kedua kalinya?
Air matanya tidak bisa ia tahan, ia menangis sejadi-jadinya hingga dadanya sesak. Segala permasalahan di hidupnya belum selesai, ditambah Tuhan mengambil satu-satunya sahabat kecilnya.
"Dokter...tolong selamatkan Rara," Vega menyentuh tangan Rara yang dingin, katakan ini hanya mimpi kan?
"Vega...Rara udah nggak ada..." kata Sarah dengan suara lemah.
"Nggak Tan, Rara janji ke aku dia nggak bakal ninggalin aku, Tante Vega mohon kembaliin Rara,"
"Kembaliin? Apa menurutmu nyawa bisa dibayar nyawa?" Vega sedikit terkejut dengan tutur Sarah, namun ia tidak menjadikan itu pikiran, karena Sarah juga pasti sama berdukanya, emosinya juga tidak bisa dikendalikan.
Sarah menghela napas, ia memeluk Vega, "Rara udah nggak ada Vega...Dia sudah nggak ada...Kita cuman bisa pasrha sama kuasa Tuhan."
Apa ini hanya perasaan Vega atau tidak, namun vega belum melihat air mata Sarah keluar, namun mata wanita itu merah, seperti menahan sakit di dadanya, apakah Sarah sudah bisa mengikhlaskan kepergian Rara?
Isak tangis belum mereda, Vega masih belum terima dengan ini semua. Sarah berusaha mendekap Vega lebih erat. Wanita yang mempunyai tanda lahir di belakang leher itu mengusap punggung Vega, berusaha menenangkan. Tersadar sepersekian detik, Vega melihat kedua mata Sarah, wanita itu sempat tersenyum kecil. Agar Vega merasa semua baik-baik saja.
"Apa Tante nggak sedih lihat Rara?" tanya Vega.
"Sedih, sedih banget. Saking sedihnya Tante nggak tau harus gimana lagi. tante yang udah urus Rara dari ia SMA. Tapi Tuhan lebih sayang Rara." setetes air mata keluar dari mata indah wanita paruh baya itu.
"Dokter, saya mohon sekali saja percobaan untuk hidupin Rara, dok saya mohon..." kata vega dengan suara bergetar. Vega bertekuk lutut dihadapan Dokter.
"Maaf, tapi kami sudah berusaha sebisa mungkin."
"Ra...lo janji gak akan ninggalin gue. Janji lo mana?" Vega memeluk jasad sahabatnya.
"Ra...gue janji. Gue bakal ungkap semua kasus lo. Beri gue waktu, Ra. Nyawa dibalas maaf itu tidak adil. Mereka yang nyelakain lo harus dihukum sepantas-pantasnya. Gue janji, Ra."
Vega sudah jarang menjenguk Rara di rumah sakit, ia masih belum tuntas mengusut kasus sahabatnya, namun Tuhan begitu cepat mengambil ia darinya.
Di tempat yang tidak ingin Vega ulangi, namun kakinya berdiri di atas tanah yang membuat seluruh hati serasa di iris. Vega tak percaya, ia menyaksikan pemakaman sahabatnya.
Sarah berdiri di belakang Vega, dengan tangannya mengusap bahu Vega.
"Izinin gue buat bales dendam, Ra. Mereka nggak pantes hidup bahagia, Ra, sementara lo sendiri kesakitan sampai lo milih pergi." Vega mengusap nisan yang berada di hadapannya. Tangannya memukul dadanya sendiri, seolah pasokan oksigen serasa menipis, sehingga membuat dadanya sesak.
***
Aksa terbangun dari tidurnya, matanya mengernyit melihat sekeliling, namun ia tida menemukan sosok Vega. Dimana gadis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
DISHARMONI
Teen Fiction[Ps: Baca cerita ini sampai konflik, semakin menuju konflik semakin asik] "Nggak! Gue nggak mau!" bantah Vega. "Kalau gue yang mau sama lo gimana?" Aksa mendekat, semakin mengikis jarak. *** Vega Jolana pindah ke sekolah SMA Atmajaya, kepindahannya...