Vega berjalan menghampiri, ia membantu orang itu berdiri, "Lo nggak apa-apa?"
Orang itu melepaskan helm full face nya. Vega dibuat terkejut dengan sosok lelaki dihadapannya.
"Lo?"
"Lo?" ujar mereka berdua bersamaan.
"Aksa?"
"Lo punya mata nggak sih?! Nyebrang itu lihat-lihat!" kata Aksa dengan nada tinggi.
"Ya...sorry nggak sengaja."
"Lagian ngapain lari-lari tengah malam kayak orang gila." Vega sontak menampol lengan Aksa. Enak saja orang secantik dia dikatain orang gila.
"Sakit bego." itu tidak akan terasa sakit, jika saja tubuhnya sekarang tidak terasa remuk semua.
Aksa menggulung lengan kaosnya yang ditampol Vega tadi, memperlihatkan luka lebam disana. Aksa rasa bukan hanya lengannya saja yang luka tapi hampir seluruh tubuhnya.
Vega sedikit terkejut, ia jadi merasa bersalah, "Ya ampun kok bisa gitu."
Aksa mendelik, "Itu semua gara-gara lo."
"Yaudah gue obatin." Vega menggandeng tangan Aksa dan menuntunnya ke sebuah minimarket yang cukup dekat dari lokasi kejadian. Aksa hanya terdiam memandang tangannya yang digenggam oleh Vega. Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba mendadak pusing, mungkin ini efek dari kepalanya yang terbentur cukup keras mengenai pohon bahkan tubuhnya terpental keras.
"Tunggu sini." Vega berjalan masuk ke minimarket. Sedangkan Aksa duduk di kursi yang sudah disediakan.
Vega kembali dengan membawa sekantong obat dan sebuah botol air mineral dingin. Lalu duduk di samping Aksa.
"Mana yang sakit?" Vega menangkup pipi Aksa dengan kedua tangannya. Mata tajam mereka saling bertemu. Saling pandang dalam diam. Jantung Vega berdetak lebih cepat, desiran aneh menjalar di seluruh tubuhnya. Rasa aneh apa ini?
Aksa menepis kasar tangan Vega. Aksa mengedarkan pandangannya ke segala arah asal tidak terlarut dalam tatapan mata Vega.
Vega mengatur detak jantungnya, menghembuskan napas perlahan, lalu kembali menatap Aksa, lebih tepatnya pada leher Aksa yang terluka dan mengeluarkan sedikit darah.
Ia mengeluarkan salep yang Vega beli tadi. Mengoleskan salep itu ke leher Aksa menggunakan cotton bud. Aksa meringis merasakan perih pada lehernya.
Vega meniup pelan luka itu agar cepat mengering. Aksa dibuat diam seribu bahasa. Ia merasakan seluruh tubuhnya meremang. Aksa menoleh mendapati Vega yang masih meniup lehernya.
"Jangan ditiup." pinta Aksa.
"Biar kering."
"Nggak usah ditiup. Jangan mancing." pintanya sekali lagi tanpa perlu dibantah.
Vega berdecak, membalut air dingin yang ia beli tadi dengan sapu tangannya dan menempelkan pada lengan Aksa yang lebam tadi. Harusnya dikompres menggunakan es batu, tapi tidak ada es batu di minimarket, alhasil Vega membeli air dingin.
"Sebagai rasa pertanggung jawaban gue antar lo pulang. No debat. Tunggu disini gue ambil motor." tukas Vega. Aksa hampir bersuara namun Vega sudah berlari mengambil motornya.
Aksa yang hendak berdiri langsung terduduk kembali, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Kini bahkan perutnya terasa kram. Kalau ada apa-apa dengan dirinya ia akan menuntut Vega. Cewek itu selalu membuat masalah.
Vega kembali dengan membawa motor vespa tosca andalannya.
"Ayo, naik." ujar Vega.
Tidak punya pilihan, Aksa naik di atas motor Vega. Secepatnya ia harus pulang ke rumah untuk mengobati kepalanya dan mengistirahatkan badannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISHARMONI
Teen Fiction[Ps: Baca cerita ini sampai konflik, semakin menuju konflik semakin asik] "Nggak! Gue nggak mau!" bantah Vega. "Kalau gue yang mau sama lo gimana?" Aksa mendekat, semakin mengikis jarak. *** Vega Jolana pindah ke sekolah SMA Atmajaya, kepindahannya...