3. REVENGE

22.2K 2.7K 112
                                    

"Anak itu butuh tuntunan bukan tuntutan."-Disharmoni

***

"Lo tuh cewek ngapain pulang jam segini? Mau jadi jalang lo?" hardik Bima. Vega menahan rasa sakit dalam hatinya saat kakaknya sendiri mencelanya. Tapi Vega sudah biasa.

"Gue capek, mau mandi."

"Kalau papah sama mamah masih ada mungkin lo udah nggak dianggep sebagai anak! Lo masih tinggal dirumah ini harusnya lo tau diri!" perkataan Bima sangat menohok hati Vega.

"Gue lakuin kesalahan kecil aja nggak lo maafin, sedangkan pacar lo yang udah berkali-kali selingkuh masih lo maafin?" ujar Vega lirih penuh penekanan. Jadi sudah tau kan, mengapa Vega sangat membenci Melati-kekasih Bima.

"Ini nggak ada hubungannya sama Melati!" Bima makin menaikkan pita suaranya. Tangan Bima terkepal kuat.

"Gue nggak mau tau, setelah lulus SMA lo harus kuliah di Jerman! Nggak ada gunanya lo disini!"

"Nggak." putus Vega.

"Bisa nggak sih lo jadi adik penurut?!" raut wajah Bima diliputi kemarahan.

"Bisa nggak lo jadi kakak yang nggak penuntut?" kepalan tangan Bima beralih menampar keras pipi Vega, hingga meninggalkan bekas kemerahan, "Dasar jalang nggak tau diri!"

"Bagus, makasih atas sambutan kepulangan gue ke rumah."

Vega meninggalkan Bima yang masih terbalut emosi, sedangkan Melati tersenyum penuh kemenangan. Lagi dan lagi Bima membela Melati.

Mengunci pintu kamar dan merebahkan tubuhnya diatas kasur. Kepalanya menoleh ke samping menatap foto yang amat ia rindukan. Foto yang menunjukkan raut kebahagiaan. Di dalam foto itu Mamahnya merangkul Vega, sedangkan Ayahnya merangkul Bima.

Vega tidak tahu mengapa Bima berubah drastis sejak orang tua mereka meninggal. Bima yang sekarang bukan Bima yang Vega kenal dulu. Kakaknya yang dulu adalah orang yang ceria, selalu menjaga Vega, bermain dengan Vega dan selalu menghapus air matanya ketika Vega menangis. Dan ia merindukan hal itu pada sosok Bima yang dulu.

***

Vega memutuskan untuk menenangkan dirinya dengan mengendarai vespanya di jalanan ibu kota yang cukup ramai ini. Satu rumah dengan Bima membuat Vega harus ekstra sabar menghadapi orang pemarah seperti Bima. Bahkan tak jarang Bima sering memukul atau bahkan menampar.

Pipinya yang terasa panas sebab tamparan dari Bima perlahan memudar digantikan dengan dingin angin malam yang menerpa wajahnya.

Sebenarnya Vega tak mengendarai motor tanpa arah, tujuannya untuk bertemu seseorang.

Kini Vega sudah berada di rumah sakit Pelita, memandang ruangan nomor 45 dengan penuh harap.

Ia menangkap sosok wanita paruh baya dengan muka sedikit pucat yang menggenggam tangan gadis yang terbaring koma.

"Tante," panggil Vega.

"Loh, Vega kamu ngapain malem-malem disini?" tanyanya.

"Vega mau jagain Rara, tan." ujar Vega lembut. bibir pucat Sarah melengkung naik.

"Nggak usah Vega, kamu kan besok sekolah." tolak Sarah halus.

"Nggak pa-pa, tante istirahat aja di rumah. Muka tante udah pucat gitu. Lagipula besok tante juga harus kerja."

Sarah mengangguk, "Yasudah, tante pulang dulu, ya, sekalian tante kesini nanti bawa makanan sama bajunya Rara." ujar Sarah menepuk bahu Vega, mengambil tasnya dan memilih untuk pulang ke rumah meng- istirahatkan tubuhnya.

Vega mengamati Rara, ikut menahan sakit saat Rara terbaring koma.

"Hai, Ra." sapa Vega, meskipun ia tahu gadis yang terbaring itu tidak akan menjawab. Meskipun dalam kondisi wajah yang pucat, Rara masih terlihat cantik.

"Lo nggak kangen apa sama gue? Nggak kangen, nih sama temen kecil lo? Bangun, Ra. Nggak capek apa tidur terus." Vega menahan air matanya agar tidak jatuh. Sahabat Vega dari kecil, satu-satunya orang yang mengetahui luka Vega setelah kedua orangtuanya tiada.

Tatapan Vega jatuh kepada leher Rara yang meninggalkan bekas kemerahan. Bekas lilitan tali yang terlihat jelas.

"Lo nggak mungkin lakuin itu, kan Ra? Masa lo mau bunuh diri, sih?" Vega menggenggam tangan kecil Rara. Ikut merasakan betapa sakitnya Rara waktu itu. Rara yang dulu sangat ceria kini terbaring tak berdaya.

"Nggak kasihan sama mamah lo? dia nunggu lo tiap hari." orang tua yang tersisa bagi Rara adalah mamahnya, ayahnya meninggal waktu Rara masih berumur tujuh tahun.

"Udah dua tahu, Ra."

"Kita janji, ya, harus cerita masalah kita. Tanpa ada rahasia." ucapan Rara satu tahun lalu masih teringat.

"Tapi lo nggak pernah cerita rasa sakit di hidup lo. Malah gue yang selalu ngeluh sama lo." ucap Vega getir.

"Lo kuat banget, sih Ra."

"Rara mengalami benturan yang cukup keras hingga mengakibatkan dia gagar otak. Kemungkinan sebelum Rara melakukan hal itu otaknya menghantam sesuatu yang keras." secuil ingatan satu tahun dari dokter forensik yang menangani Rara masih membekas di ingatan Vega.

"Benturan keras itu menyebabkan Rara pingsan. Bahkan pada saat ditemukan gantung diri ia pun masih dalam keadaan pingsan. Tidak mungkin dalam keadaan pingsan Rara mampu berbuat hal semacam itu." perkataan dokter waktu itu sangat masih terngiang sampai sekarang. Vega mengepalkan tangannya kuat. Satu pertanyaan dalam benak Vega, Siapa orang yang dengan sengaja membuat scenario untuk orang-orang beropini Rara bunuh diri?

"Gue janji, Ra. Orang itu akan dapat balasan yang setimpal."

DISHARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang