37*

19K 1.7K 17
                                    

Euugh...

Hana melenguh, perlahan mata cantik itu terbuka. Dahinya mengernyit kala melihat ia sudah berada di kamarnya dan juga kamar Alka.

"Hana?" panggil Alka yang baru keluar dari kamar mandi. Alka mengambil posisi duduk di samping Hana yang masih terbaring.

"Ada yang sakit?" tanya Alka lembut seraya mengusap-usap pipi Hana.

Hana mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Istirahat aja," ucap Alka kala Hana berusaha mencoba duduk. Namun, tubuhnya masi terasa lemas.

"Aku ambilin makanan sebentar," ucap Alka lalu bangkit dari duduknya. Baru saja Alka hendak melangkahkan kaki, tangannya di cekal oleh Hana.

Alka berbalik menatap Hana yang menggeleng lemah menatapnya.

"Aku mau ambil makan untuk kamu dulu, Han. Dari siang sampe sekarang sore kamu belum makan loh," ucap Alka lembut.

"Aku gak laper," ucap Hana pelan menatap sendu Alka.

"Laper enggaknya, kamu harus tetep makan sayang... " ucap Alka lembut seraya mengusap puncak kepala Hana.

Hana menatap datar Alka, tak urung ia mengangguk pasrah.

Alka tersenyum semringah lalu mengecup singkat puncak kepala Hana sebelum berlalau menuju dapur.

"Ujian aku gimana... " lirih Hana menatap kosong.

***

"Gimana dengan rencana kita?" tanya perempuan itu pada dua orang kepercayaannya.

"Lancar, Bos!" jawab dua orang kepercayaannya itu bersamaan.

"Nanti akan ada info kelanjutannya lagi dari Papa," ucap perempuan itu.

"Siap Bos!" jawab dua orang kepercayaannya itu.

***

"Beri penjagaan yang lebih!" ucap Vanka tegas pada anggotanya.

Kini seluruh anggota keluarga Gentala sedang berkumpul di ruang keluarga kecuali Alka dan Hana. Bahkan Kevin anak angkat Vanka dan Abi sudah hadir. Kevin bersama keluarga kecilnya tiba di Indonesia sore tadi.

"Van.. Gimana dengan Hana?" khawatir Bulan menatap serius Vanka.

Vanka menoleh menatap Bulan, "Kak Bulan tenang aja, anak buah ku akan jaga dia dari jarak jauh," sahut Vanka.

"Untuk sementara ini, sebaiknya kita tidak perlu keluar mansion jika tidak ada kepentingan mendesak. Karena, mungkin mereka sedang merencanakan sesuatu lagi untuk menyakiti salah satu dari kita." celetuk Abi menatap keluarganya satu persatu.

"Papa setuju dengan kamu, Bi." setuju Davin.

"Udah jam sembilan malem nih. Sebaiknya kita semua istirahat," sela Lingga di angguki mereka semua.

"Kalo gitu selamat malam semuanya! Semoga mimpiin Kevin!" kekeh Kevin. Mereka semua memutar bola mata malas.

Lia selaku istri Kevin langsung menggeplak lengan Kevin, "Malu-maluin lo!" ketus Lia lalu pamit dengan mereka semua sebelum berlalu menuju kamarnya yang juga kamar Kevin.

"Bukan bapak gue suer," gumam Kevan yang berumur 10 tahun selaku anak sulung Kevin dan Lia yang baru datang dari dapur.

"Rasain!" ledek Regan, Renal dan Arsen.

"Ekhem!" peringat Davin menatap tajam ketiga cucunya itu.

Mereka bertiga menyengir.

"Om!" panggil Kevan seraya mengancungkan dua jempol tangannya kearah tiga Om-nya itu.

Mereka bertiga tersenyum bangga, lalu melirik sinis Kevin ketika anaknya malah tidak memihaknya.

Kevin membulatkan mata lalu menatap tajam Kevan, "Lo anak gue bukan sih! Bukannya belain gue sebagai bapak lo, malah nimpalin tiga penyedot wc ini," sungut Kevin menunjuk ketiganya. Ketiganya bersamaan menatap tajam Kevin yang di balas kedikan bahu acuh dari sang empu.

"Emang situ bapak aing?" polos Kevan menatap bingung Kevin.

"Bhuahahaha!" tawa keluarga Gentala pecah kala mendengar penuturan anggota Gentala paling muda itu.

Kevin tersenyum kecut, "Kayaknya, lo gue masukin aja deh, ke dalam perut Mama lo," ketus Kevin berlalu menuju kamarnya yang juga kamar Lia.

"Anak kamu tuh!" celetuk Vanka menyenggol lengan Abi.

Abi menatap heran Vanka, "Anak kamu juga kali," ketusnya.

"Kagak usah mulai!" sela Lingga menatap datar keduanya.

"Mas!" tegur Bulan menatap tajam Lingga. Lingga hanya meringis.

"Sudah-sudah, sebaiknya kita tidur," lerai Desty di angguki yang lain.

***

"Han? Lo beneran gak papa?" tanya Alen menyentuh bahu Hana.

Kini Hana dan Alen sedang berada di kantin. Setelah jam istirahat tadi, mereka memilih langsung menuju ke kantin dan memesan mie ayam kesukaan Hana.

Hana menggeleng lemah sebagai jawaban. Alen hanya bisa mendengus kesal. Sungguh, Hana itu sangat keras kepala sekali orangnya. Jika dia bilang tidak, maka akan tetap tidak.

"Han?" celetuk Cakra tiba-tiba lalu duduk di hadapan Hana dan Alen.

Hana dan Alen mengalihkan pandangan mereka kearah Cakra dkk yang sudah duduk anteng di hadapan mereka.

"Lo kenapa, Han? Pucet banget, Sakit?" tanya Zayn pada Hana.

"Bener tuh!" timpal Adan dan Arta bersamaan.

"Ngikut ae lu pada!" dengus Zayn.

"Mending kita ke UKS yuk!" ajak Cakra.

Hana hanya menggeleng kepala sebagai jawaban.

Alen tersenyum kecut, "Mending lo berempat minggat dari hadapan kami, tampang gembel kalian itu mengganggu tau!" sinis Alen.

"Sirik ae lo saodah!" sarkas Arta.

Alen membulatkan mata lebar, "Ngomong apa lo!" delik Alen menatap tajam Arta.

Arta menatap datar Alen, "Gue seperti radio, hanya di putar sekali saja, begitupun dengan ucapan gue."

Mereka tercengang mendengar penuturan Arta, "Mboh lah Ar! Mboh!" prustasi Alen mengacak rambutnya gusar.

"Han? Mending ke UKS yuk?" ajak Zayn di angguki yang lain.

"Gak!" singkat Hana lalu melanjutkan makannya.

"Dasar kepala batu!" gumam Adan.

"Ulangi?" dingin Hana menatap datar Adan.

"E-enggak Han, suer gue gak ngomong apa-apa," ucap Adan gelagapan kala melihat tatapan mematikan Hana.

Mereka terkekeh kala melihat ekspresi Adan yang ketakutan kala melihat tatapan Hana.

"Rasain!" ledek Arta.

***

Terimakasih telah menjadi bagian
dalam proses pendewasaan ku
Aku pernah menjadi yang paling cemas
dan pada akhirnya menjadi yang paling ikhlas

Transmigrasi Hani (TERBIT/Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang