"HANI! HANI!" teriak Tari dari balik pintu kamar, selaku Mami dari gadis yang di panggil namanya Hani tersebut.
Dari kamar Hani berdecak kesal kala Maminya itu berteriak begitu kencang di pagi hari memanggil namanya. Kemudian ia mengambil tas sekolahnya lalu berjalan membuka pintu.
Hani menatap datar Maminya, "Suara Mami menganggu tetangga," dinginnya.
Tari terkekeh. Sungguh anaknya ini sangat dingin dan datar bagaikan tembok. "Hehe, Mami mau tanya. Kata Farel kamu menang Olimpiade Matematika lagi, ya?"
Hani mengangguk malas. "Waaah! Anak Papi memang pintar!" celetuk Gian mengancungkan dua jempol yang baru datang entah dari mana.
Hani Nashiva Gentala, atau biasa di panggil dengan sebutan Hani adalah seorang siswi pintar di sekolahnya. Ia menduduki bangku kelas 12 Administrasi 1 di salah satu SMK Negeri di kota ini.
Hani bukanlah dari keluarga kaya, keluarganya hanya orang biasa, Papi Gian hanya seorang satpam di suatu kantor, dan Mami Tari bekerja di sebuah toko roti. Namun, untuk makan sehari-hari mereka masi mampu dan cukup.
Darren selaku anak sulung menghampiri mereka bertiga dengan mengusap-usapkan handuk kecil di rambutnya. "Ada apa?" bingung pemuda berusia 25 tahun itu yang berprofesi sebagai Polisi.
Gian dan Tari bangga dengan anak-anaknya karena ketiga anaknya memiliki otak yang cerdas. Ya, mereka memiliki 3 anak bernama Darren Narendra, Farel Kavandra, dan Hani Nashiva Gentala.
Mereka menoleh kearah Darren, "Ini, kata Farel, Hani menang lagi." sahut Gian.
"Waah, adek gue emang the best! Ngemeng-ngemeng, menang apa lagi nih?" tanya Darren antusias.
"Matematika," sahut Papi Gian yang di angguki Darren.
"Han, Mami mohon kamu gak lagi kerja di tempat itu," celetuk Tari menatap Hani penuh harap.
Hani memiringkan sedikit kepalanya, "Gak lagi, Mi. Hani gak mau bikin Mami khawatir lagi," jawabnya tersenyum tipis.
"Woy! Sarapan kuy!" teriak Farel yang sudah duduk manis di bangku meja makan. Posisi kamar Hani memang langsung mengarah ke dapur mengingat rumah ini yang sempit, namun cukup untuk menampung mereka 5 orang.
Darren berdecak kesal, "Penghancur suasana," gumam Darren.
Kini mereka berada di meja makan, menyantab dengan nikmat di temani dengan tahu tempe goreng, tumis kangkung, dan ikan asin goreng.
"Gimana kuliahmu, Farel?" tanya Gian pada Farel yang baru meneguk minumnya.
Farel sudah memasuki kuliah semester 4, ia mengambil jurusan Perbankan Syariah.
Farel menatap Gian, "Baik, Pi." sahutnya yang di balas anggukan Gian.
Hani mengulurkan tangannya ke arah Gian. Gian sudah hapal maksud anak bontotnya ini yang berniat menyalimi tangannya.
Kemudian Hani beralih menyalami punggung tangan Tari, Farel, lalu Darren.
"Assalamualaikum!" salam Hani.
"Waalaikumsalam!" sahut mereka berempat sebelum Hani berlalu dari sana.
"Gue bisa beku kalo terus di samping si Frozen," celetuk Farel menyadarkan orang tuanya dan saudaranya yang masih menatap kepergian Hani. Padahal, gadis itu sudah hilang dari balik pintu.
Mereka bertiga menoleh menatap Farel, mereka memang sering memanggil Hani dengan sebutan Frozen, mengingat sifat gadis itu yang dingin.
Tari mengangguk setuju, "Semenjak waktu itu, Hani yang lumayan cerewet, ceria, sewot, betingkah, menjadi dingin." sedih Tari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Hani (TERBIT/Lengkap)
Teen Fiction(SELESAI) [[REVISI DI VERSI CETAK] Mungkin ni cerita nggak masuk akal, jadi author mohon maaf jika pembaca kurang puas sequel (Transmigrasi Vanka) Bagaimana jadinya seorang badgirl, cerdas dengan sejuta prestasi, dingin, memiliki mata tajam. Haru...