_49_

55.1K 2.9K 118
                                    

"Maaf."

Satu kata itu keluar dari bibir Brian, laki-laki itu menundukkan kepala tak berani menatap wajah adiknya.

Sudah hampir dua puluh menit setelah Retha sadar, Brian hanya bisa mengatakan satu kata itu yang mewakili perasaannya.

"M-maaf? Basi, Kak." Ujar Retha dengan suaranya yang pelan, bahkan karena saking pelannya hampir saja Brian tidak mendengar.

"Kakak tahu semua kesalahan kakak emang nggak pantes untuk dimaafkan. Tapi, beri kakak kesempatan untuk memperbaiki semuanya ya?" Akhirnya dengan keberanian Brian mendongkakkan kepala, menatap wajah pucat sang adik.

Retha tersenyum kecut, memperbaiki semua katanya? Terlambat, karena waktunya tidak akan lama lagi. Pada akhirnya Retha akan pergi untuk selamanya, jadi kenapa Brian harus memperbaiki kesalahannya yang akan terasa percuma?

Retha tidak munafik, gadis itu sulit untuk memaafkan kesalahan orang-orang yang pernah menyakitinya termasuk Brian, itu sebabnya gadis itu tidak menerima maaf dari Brian.

"Gue bukan orang munafik, kak. Karena itu gue nggak semudah itu untuk terima permintaan maaf dari lo. Bahkan bagi gue, maaf aja nggak cukup." Ujar Retha jujur dengan suaranya yang terdengar lambat.

Air mata Brian hampir saja menetes tatkala mendengar hal itu dari adiknya. "Jadi kamu belum bisa maafin kakak? Enggak papa, kakak tahu itu sulit. Kakak emang sepantasnya dapatin ini semua."

Retha hanya diam, tidak berniat bicara. Gadis itu terlalu lelah untuk sekedar mengucapkan satu kata pun.

"Biar kakak temenin kamu disini, kamu istirahat ya?" Perintah Brian dengan lembut.

"Enggak, yang Retha butuhin cuma Arsen. Bukan kakak." Tutur datar itu membuat Brian terkejut seperkian detik, mungkin saja adiknya masih terlalu kecewa itu sebabnya gadis itu tidak ingin berlama-lama dengannya.

Dengan sedikit berat hati Brian mengangguk, "O-oke, kakak panggil Arsen sekarang."

Retha tidak menjawab, ia membiarkan Brian untuk pergi keluar dan memanggilkan Arsen untuknya. Mungkin Brian sakit hati akan perkataannya tadi, namun Retha melakukannya karena ia masih terlalu kecewa. Gadis itu belum siap untuk menerima kakaknya kembali.

"Tha?" Hingga suara lembut yang sangat familiar di telinganya menyadarkan Retha.

"A-arsen," panggilnya lirih.

"Ssst, jangan bicara." Arsen menempelkan jari telunjuknya di bibir Retha. "Kata dokter lo nggak boleh banyak bicara dulu."

"Gue nggak apa-apa," Masih dengan suaranya yang pelan Retha memaksakan dirinya untuk terus bicara.

Melihat keyakinan Retha membuat Arsen mau tak mau mengangguk, "Kenapa manggil gue, hm?"

Retha memejamkan matanya sesaat sebelum gadis itu membuka suara. "Arsen, lo beneran tulus cinta sama gue? Lo beneran sayang sama gue?"

Arsen sedikit tertegun ketika mendengar kalimat itu keluar dari bibir Retha, cowok itu lantas beralih menggenggam tangan Retha dan menciumnya lembut.

"Apa selama ini sikap gue keliatan bercanda? Apa selama ini gue cuma main-main sama lo, Tha?" Di genggamnya tangan pucat milik Retha dikecupnya beberapa kali.

"Gue nggak pernah main-main sama perasaan gue, lo cewek satu-satunya yang buat gue selalu ingin lindungin lo. Lo cewek satu-satunya yang berhasil masuk ke hati gue, dan lo tahu Tha? Sekali nama lo masuk ke hati gue, gue enggak biarin nama lo keluar dari hati gue gitu aja." Jelas Arsen panjang lebar.

Sebetulnya Arsen tidak mengerti kenapa Retha tiba-tiba menanyakan tentang keseriusannya pada gadis itu. Arsen hanya jatuh cinta sekali, ia tidak pernah jatuh cinta pada siapapun sebelumnya. Dan cowok itu akan memastikan jika Retha adalah cinta pertama sekaligus terakhir untuknya.

About Retha [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang