_42_

29.5K 2.4K 144
                                    

"Lo telat sepuluh menit, ikut gue!"

Retha menatap Glen lalu berdecak kesal, gadis itu mengikuti Glen dari belakang. Entah kemana cowok itu membawanya pergi, Retha sama sekali tidak peduli.

"Tugas lo jagain Sonya, kalo dia minta apa-apa lo harus nurutin. Jangan ngebantah!" Ujar Glen dengan nada tegas.

Retha melirik Sonya yang tertidur dikasur kamar, gadis itu dengan sangat yakin jika Sonya hanya pura-pura sakit supaya bisa menyuruhnya seenaknya. Tentu saja Retha tidak akan tinggal diam, lagipula Retha bukanlah cewek bodoh yang bisa dibodohi oleh gadis itu.

"Istri lo lemah banget, jatuh ke air becekan aja sakit. Gimana kalo dia jatuh ke sungai? Gue yakin dia udah mati." Ucap Retha tanpa dosa.

"Reth!" Tegur Glen. "Dia beneran sakit, lo nggak boleh ngomong gitu."

Retha memutar bola matanya malas, "Lo suaminya 'kan? Seharusnya lo lah yang jagain istri lo, masa nyuruh gue. Gak becus banget lo jadi suami."

Glen meringis pelan ketika mendengar kata-kata kasar itu keluar dari mulut Retha. Mantan pacarnya itu sudah banyak berubah, tidak seperti dulu ketika ia masih bersama gadis itu.

"Lo serius nyuruh gue jagain Sonya? Lo nggak takut Sonya gue apa-apain karena gue itu mantan lo? Lo gak takut kalo gue punya dendam ke dia karena ngerebut lo dari gue?" Tanya Retha panjang lebar. Gadis itu menaikkan salah satu alisnya, menunggu jawaban dari Glen.

Glen diam sejenak, cowok itu memikirkan apa yang dikatakan Retha padanya. Cowok itu mulai ragu-ragu jika Retha akan menjaga Sonya dengan baik atau tidak.

"Gue yang jagain Sonya. Lo kerjain yang lain aja." Putus Glen akhirnya.

Retha tersenyum miris mendengar jawaban yang dilontarkan Glen. "Ternyata lo masih nggak percaya sama gue, ya. It's okay, dari dulu lo emang gak pernah percaya sama gue 'kan?"

Lantas gadis itu berlalu keluar kamar meninggalkan Glen yang lagi-lagi hanya terdiam di tempatnya.

Seperti kata Glen, Retha lebih baik melakukan pekerjaan yang lainnya ketimbang menjaga Sonya.

Gadis itu mulai mengerjakan pekerjaannya, seperti mencuci piring, mengangkut jemuran pakaian bahkan mengepel lantai.

Retha dengan hati-hati mengepel lantai, ia sudah terbiasa melakukannya di rumahnya dulu jadi ia tidak kaget. Lagipula, Retha senang jika melakukan pekerjaan rumah. Untuk apa repot-repot memperkerjakan pembantu jika dirinya sendiri bisa?

Hal itu ia pelajari dari mendiang ibunya. Ibu Retha sama sekali tidak pernah berpikir untuk mempekerjakan pembantu walaupun pekerjaan rumah banyak dan padat. Wanita itu akan dengan sukarela melakukanya dengan cepat. Karena itu lah Retha sangat menghargai dan menghormati ibunya.

"Retha, kenapa lakuin semua ini? Biar bi inah aja yang lakuin ini. Besok 'kan kamu sekolah mending kamu sekarang pulang. Kamu juga harus belajar 'kan?" Amira, selaku ibu Glen tiba-tiba datang mengagetkan Retha.

Retha menoleh pada wanita yang sedang mengandung itu terbukti dengan perutnya yang terlihat buncit. Gadis itu tersenyum manis pada Amira, bagaimanapun Amira itu berbeda dari Dirga. Amira itu lembut, seperti mendiang ibunya.

"Ngga papa kok, tan. Retha udah biasa lakuin ini di rumah Retha, jadi tante nggak perlu khawatir." Ujar Retha. "Tante hati-hati jalannya ya, soalnya ini licin."

Amira mengangguk lalu tersenyum. Retha melakukan pekerjaannya namun tiba-tiba---

"Awh!"

Retha menoleh secepat kilat, "Astaga, tante!"

About Retha [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang