_35_

33K 2.9K 138
                                    

Aku ngerasa semakin hari readers cerita ini berkurang, iya nggak sih?

***

Retha menatap jendela kamarnya dengan tatapan kosong, angin semerbak menyapu wajahnya. Menusuk kulit dan wajahnya yang pucat.

Air matanya menetes, rasa sesak di dalam dadanya menghantamnya beribu-ribu kali. Tak terkecuali hatinya yang perlahan beku ataupun mati rasa.

Bayang-bayang canda tawa kakaknya dengan Sonya tiba-tiba muncul tanpa tahu malu. Berusaha keras untuk menipisnya namun tak bisa.

Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut sakit. Terasa seperti dihantam palu keras-keras, penyakitnya kambuh lagi.

Dengan tangan bergetar dan air mata yang membanjiri pipinya, Retha mengelap darah yang keluar dari hidungnya. Retha tidak bisa menahan ini, kenapa Tuhan menyiksanya? Kenapa tak dibiarkan saja Retha mati?

Kenapa harus ada penyakit menyakitkan ini dalam tubuhnya?

"Retha mau nyerah aja, boleh?" Tanyanya pada semilir angin yang menerpa wajahnya.

Mata gadis terus memerah dan sembab akibat terlalu sering menangis, gadis itu bahkan tak selera untuk makan. Hatinya terlalu sakit untuk menerima apapun.

"Tha." Suara itu mengagetkan Retha yang larut dalam tangisnya. Gadis itu menoleh pada pintu yang menampilkan Arsen di sana.

Retha buru-buru menyeka air matanya, tersenyum pada Arsen yang menghampirinya dan duduk di hadapannya.

Arsen membelai rambut Retha, cowok itu paham jika Retha habis menangis. "Kenapa nangis hm?"

"Mau nyerah aja boleh?" Tutur lirih nan parau itu terdengar sangat menyakitkan di telinga Arsen.

Arsen menggeleng, mengecup kening Retha dan menangkup pipi gadis itu. "Nggak boleh nyerah, sayang. Pasti sembuh, Retha pasti bakal sembuh."

"Tapi gue gak kuat, Sen." Retha terisak, bagaimana penyakitnya membuat dirinya lemah benar-benar menyakitkan.

"Hey, sayang. Jangan nangis." Arsen menyeka air mata Retha dengan tangannya. Lagi-lagi mencium kening gadis itu tanpa izin.

"Inget gimana lo berusaha buat buktiin kalo lo gak salah? Lo lupa apa yang jadi tujuan lo? Lo mau nyerah secepat ini, Tha?" Ucapan Arsen membuat Retha bungkam beberapa saat.

"Tapi gue sekarat, Arsen. Kata dokter umur gue cuma kurang dari dua bulan lagi. Gue bakal mati, gue bakal gak ada." Kata Retha di tengah isakannya.

"Persetan dengan dokter! Emang dia Tuhan yang bisa nentuin kematian seseorang? Lo gak sekarat, Retha. Lo hidup untuk diri lo dan untuk gue." Arsen mengelus kepala Retha, sungguh melihat Retha selemah ini membuatnya ikut merasakan sakit.

"T-tapi bagaimana dengan kondisi gue nanti? Rambut gue perlahan-lahan rontok,  wajah gue bakal kelihatan pucat kayak mayat. Gimana gue bisa terima itu, Arsen?" Retha memandang lurus ke depan, bayangan-bayangan bagaimana keadannya nanti membuat Retha semakin takut.

"Gue nggak akan peduli penampilan lo kayak gimana, gue sayang sama lo Tha. Gue cinta sama lo bukan penampilan lo." Ujar Arsen tak bisa ia pungkiri jika dadanya juga ikut terasa sesak.

Retha menatap Arsen, kenapa bisa Retha mengabaikan cowok seperti Arsen selama ini? Kenapa ia tak mencoba membuka hatinya untuk cowok itu?

Namun Retha sepenuhnya sadar, jika kali ini ia harus menorehkan rasa pada cowok itu hatinya akan jauh lebih sakit. Keduanya akan sama-sama tersakiti, Retha tak mau jika Arsen akan sakit karena kepergiannya suatu hari nanti.

About Retha [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang