_22_

27.8K 2.3K 70
                                    

Hari ini Retha tidak berangkat sekolah, sehabis pulang dari sekolah kemarin tubuhnya terasa sangat lemas. Ternyata ia mengalami demam.

Ini lebih baik jika ia harus berangkat dan dihadapkan dengan orang-orang yang membully nya. Retha tidak takut, hanya saja rasa kehilangan Prilly masih terus membekas dan membuatnya malas untuk meladeni orang-orang yang mempunyai kesempatan mengganggunya.

Retha menarik selimutnya hingga menutup ke seluruh tubuhnya ketika pintu kamarnya terbuka menampilkan seseorang.

"Kenapa gak bilang kalo lagi sakit?" Suara itu, Retha mengenalnya.

"Emang kalo gue bilang, lo bakal peduli Glen?" Iya, suara itu tidak lain adalah suara Glen. Retha tidak tahu kenapa cowok itu sampai berada di sini.

"Kakak lo bilang lo sakit, makanya gue ke sini. Lo belum makan 'kan? Setidaknya makan Reth, biar cepet sembuh." Ujar cowok itu.

Retha menyingkirkan selimut yang menutupi wajahnya, "Kenapa baru sekarang lo peduliin gue? Kemarin lo kemana aja saat gue butuh lo?"

Glen bungkam. Sebenarnya tidak ada salahnya jika Retha marah padanya. Hanya saja cewek itu terlalu keras kepala untuk mendengarkannya.

"Ohya gue lupa, lo 'kan udah tunangan sama Sonya. Mana mungkin lo peduli sama gue, gitu 'kan Glen?" Retha menatap manik mata Glen dalam. Sorot kecewa dan terluka terlihat jelas di mata gadis itu.

Kini, tidak ada seorang pun yang ada di sampingnya. Tidak ada orang yang menyemangatinya ketika ia ingin menyerah. Tidak ada orang yang merangkul dan memeluknya ketika ia menangis.

Semua orang pergi meninggalkannya. Seharusnya Retha percaya bahwa tidak ada orang yang benar-benar bisa menjamin bahagia.

"Reth, gue nggak suka lo sakit. Makan ya? Gue suapin mau?" Tawar Glen.

"Lo tau apa yang lebih sakit?" Retha mendekat, menunjuk dada bidang Glen dengan jarinya. "Hati lo bukan milik gue dan jadi milik orang lain, kenyataan itu menyakiti perasaan gue."

Glen benar-benar tak menduga jika Retha akan mengucapkan hal itu. Hatinya benar-benar tertohok, Retha berhasil membuat Glen diam tak bersuara. Bagaimanapun Glen sadar jika ia sudah banyak menyakiti gadis itu.

Hanya saja kata maaf mungkin tidak cukup untuk cowok itu ucapkan.

Glen berdeham pelan, "Lo harus makan, gue suapin lo."

Cowok itu mengambil semangkok bubur yang berada di meja samping tempat tidur Retha. Gadis itu sama sekali belum menyentuh makanannya.

"Gue nggak mau makan!" Teriak Retha menolak.

"Sekali aja, makan ya?" Rayu Glen, berharap gadis itu mau memakan makanannya.

"Gue bilang gue nggak mau, Glen!"

"Kenapa lo keras kepala?!" Glen tanpa sadar meninggikan suaranya. Cowok itu sedikit kesal karena Retha benar-benar susah untuk makan.

Retha menatap tak berkedip ke arah Glen. Sedikit tersentak kaget karena Glen membentaknya.

"Gue sampai harus ninggalin Sonya cuma buat lo, tapi lo susah buat di atur. Sikap lo yang kayak gini bikin gue muak, Reth." Glen mungkin tidak tahu jika ucapannya akan semakin menyakiti Retha.

"Karena itu lo ninggalin gue dan pilih tunangan sama Sonya?" Retha berusaha menahan air matanya yang siap keluar.

"Bukan itu maksud gue, Reth."

"Pergi Glen," ujar Retha menyuruh cowok itu untuk keluar dari kamarnya.

"Gue nggak bisa ninggalin lo yang lagi sakit kayak gini." Ucapan Glen sukses membuat Retha tertawa hambar.

"Dari awal lo udah ninggalin gue, jadi mending sekarang lo pergi." Retha menunjuk pintu menyuruh Glen agar keluar dari kamarnya.

Glen menghembuskan napas beratnya, cowok itu kembali menaruh semangkok bubur ke tempat semula. Mungkin membiarkan Retha sendirian sekarang akan membuat gadis itu menata kembali perasaannya.

"Gue izin pamit, Reth." Kata Glen, cowok itu berniat mencium kening Retha namun dengan cepat gadis itu menghindar.

Glen berjalan mundur lalu keluar dari kamar Retha. Tak lupa menutup kembali pintu kamar.

Sedangkan Retha, gadis itu terisak pelan. Rasanya sakit untuk benar-benar melepaskan Glen dari hidupnya. Satu tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk menghapus segala kenangan akan cowok itu.

Retha menarik selimutnya kembali, dalam hitungan detik gadis itu terlelap tidur.

***

Ugal-ugalan sudah menjadi makanan sehari-hari oleh Zico. Setelah pulang sekolah ia tidak langsung pulang melainkan bersenang-senang di jalanan bersama teman-temannya.

Zico akan pulang malam jika ia belum merasa puas. Hal itu menjadi hal lumrah baginya. Menurut Zico sehari saja ia tidak membuat masalah hidupnya terasa hampa.

Karena masalah yang ia ciptakan Zico merasa lika-liku hidup lebih terasa.

"Zic, lo mau balapan lagi?" Tanya Rehan selaku salah satu teman dekat Zico.

Zico mengangguk singkat, "Belum puas gue."

Rehan hanya menggelengkan kepalanya, temannya yang satu itu memang sudah terlalu terobsesi dengan hobinya yang terbilang cukup berbahaya.

Zico menyalakan motornya, lalu dengan kecepatan penuh ia melaju cepat dengan percaya diri. Zico menyeringai tipis di balik helm fullface nya. Cowok itu menambahkan kecepatannya.

Tidak peduli beberapa para pengendara berteriak kesal karena ulahnya. Memang, Zico berada di jalan yang dibilang cukup ramai. Oleh karena itulah para pengendara itu berteriak kesal bahkan juga marah.

"Woy Zico, hati-hati!" Teriak Rehan yang melihat aksi gila temannya.

Namun sepertinya teriakan Rehan tidak di dengar Zico, terbukti cowok itu yang masih saja menjalankan motornya dengan kecepatan penuh.

Rehan khawatir jika Zico akan jatuh atau menabrak seseorang.

Sementara Rehan yang khawatir akan keselamatan temannya, Zico malah tersenyum senang akan masalah baru yang dibuatnya.

Namun kesenangannya hanyalah sesaat, karena tak fokus Zico akhirnya menabrak sebuah mobil yang lewat hingga kaca depan dan spion mobil itu rusak, sedangkan Zico jatuh tersungkur.

Orang yang ada di dalam mobil itu keluar dengan tampang marahnya, "Kamu tidak bisa mengendarai motor dengan benar?"

Zico melepas helm fullface nya, menatap pria tua malas. "Saya bakal ganti rugi, bapak kamu perlu khawatir."

"Kamu bukannya minta maaf ini malah bilang sok sok an mau ganti rugi. Kamu pikir saya akan memaafkan kamu begitu saja?" Kata pria berjas hitam tersebut.

Zico menghela napas pelan, pria di hadapannya ini benar-benar membuang waktunya. Padahal Zico masih ingin melanjutkan aksinya yang belum selesai.

"Bapak mau apa dari saya?" Tanyanya malas.

Pria tersebut menatap penuh intimidasi pada Zico. Meneliti tubuh cowok itu dengan kepalanya yang manggut-manggut.

"Kamu bisa berkerja dengan saya." Ucapnya kemudian.

Alis Zico terangkat, "Bekerja dengan bapak? Saya masih sekolah."

Pria itu tersenyum, "Tidak apa-apa, kamu hanya perlu menjaga seseorang dan melindunginya. Dan karena kamu sudah menabrak mobil saya, kamu tidak saya bayar. Bagaimana?"

"Saya tidak tertarik dengan tawaran anda." Tolak Zico.

"Saya bisa melaporkan kamu ke polisi atas tindakan kamu dan aksi kebut-kebutan kamu di jalan." Pria itu berubah mengancam.

"Oke, saya setuju. Siapa orang yang harus saja jaga?" Putus Zico pada akhirnya karena ia tak mau membebani Brian dan Retha.

"Om," panggilan itu membuat Zico dan pria itu menoleh.

Seketika Zico terkejut tak percaya menatap seseorang yang keluar dari mobil tersebut.

"Lo?"

TBC

About Retha [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang