°24°

265 16 5
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Gabriela terbangun dengan perasaan tenang yang entah datang darimana. Ia menggeliat dari tidur nyamannya dan saat matanya menggelepar terbuka, ia menemukan Andrea duduk di ujung kasur dengan tatapan tajam lekat ke arahnya. Penampilannya kacau; matanya tampak lelah, kemejanya kusut dengan dua kancing teratasnya yang terbuka serta Gabriela dapat dengan jelas mencium aroma minuman keras memenuhi kamar.

"Hei." bisik Gabriela sambil mengulurkan tangannya.

Namun Andrea tak bergeming, hanya terus menatap Gabriela lekat dengan tatapan yang berubah-ubah, ada rasa takut, marah, kesakitan dan amarah lagi. Gabriela mengira-ngira apa ia membuat kesalahan?

Kali ini Gabriela kembali mencoba lagi menarik batu hidup yang kaku itu agar mencair. Ia bangkit untuk merangkak menghampiri Andrea. Ia membelai paha Andrea berharap bisa mengenyahkan tatapan dingin yang amat ia tak sukai itu. Melihat Andrea seperti ini seperti ia melihat sosok lain yang tak mampu ia raih. Lalu, tangannya merayap ke arah kemejanya untuk membuka sisa kancing yang lain.

Nampak Andrea menahan nafas dan lehernya menegang tatkala tangan dingin Gabriela meraba dadanya sebelum akhirnya ia menahan tangan Gabriela dan menepisnya pelan. Lalu ia berjalan menjauh dengan langkah gontai meninggalkan Gabriela yang patah hati karena ditolak oleh sang kekasih.

Perasaan tenang itu tak bertahan lama.

.
.
.

Setelah kejadian penolakan itu, Gabriela sama sekali tidak berpapasan dengan Andrea. Mungkin pria itu mengurung diri di ruang kerjanya. Meski mendapat penolakan yang menyakitkan, tapi ia tidak bisa menutupi perasaan cemas akan kondisi Andrea. Kejadian buruk yang menimpa perusahaannya pasti membuat Andrea sangat kewalahan hingga membuat Andrea menjadi sosok yang mengerikan tadi.

Sebelum meninggalkan penthouse, ia melirik penuh pengharapan pada pintu ruang kerja Andrea. Mungkin, sepulang kerja nanti Andrea sudah kembali menjadi pria idamannya lagi. Ia akan memberikan Andrea waktu untuk berpikir jernih lagi.

.
.
.

Di kantor waktu berjalan terasa lambat bagi Gabriela. Tapi, tahu-tahu sudah tiba jam makan siang, dan berbarengan dengan sebuah pesan masuk yang menggetarkan hatinya. Senyumnya mengembang dan dalam hati bergumam kalau Andrea sudah baik-baik saja sekarang. Dengan tergesa-gesa ia mengemasi barang-barangnya.

Hal itu tak luput dari perhatian Jason. Ia sudah bisa menebak apa yang membuat Gabriela selalu bersemangat seperti ini. Namun, ia harus berlakon menjadi pria yang tidak tahu apa-apa agar memastikan gadis ini tak menjauhinya.

"Buru-buru sekali, makanan kafetaria kita tidak ada yang bagus-bagus amat."

Gabriela nyengir, "Aku bukan mau makan di kafetaria."

"Hm... sudah janjian dengan kekasih tajir-mu itu?"

"He-he, see you later Jas!"

Gabriela segera turun ke lobi dan di depan halaman utama gedung nampak SUV yang sudah familiar di matanya seolah-olah ia adalah pemiliknya. Ben nampak meloncat keluar dari mobil dan membukakan pintu belakang untuk Gabriela.

"Thanks, Ben."

"Miss Morris."

Di perjalanan, Gabriela membuka topik pembicaraan. "Ben."

Toxic Relationship: Between Love and Pain [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang