°43°

62 4 3
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Sesuai rencana, Gabriela siap menemui Camelia dengan tujuan membungkam tuduhan tak benar tentang Andrea. Ia sudah memasang pagar tembok raksasa sebagai penangkal serangan mental Camelia.

Mereka bertemu di kafe tak jauh dari rumah sakit. Gabriela datang lebih awal, karena baginya lebih cepat lebih baik. Ia tak mau lagi kisah cintanya dengan Andrea masih dibayangi sosok mantan kekasih.

"Maaf, aku tiba-tiba memintamu untuk bertemu begini."

Gabriela yang sudah menulikan telinga, menjawab dengan santai. "Tidak apa. Lagipula ada yang ingin aku sampaikan juga."

"Kau mau pesan sesuatu?" tanya Camelia sembari melihat-lihat daftar menu --mencoba mengulur waktu. Jelas Gabriela bisa menangkap gelagat gugup pada Camelia.

Gabriela menjawab dengan tegas, tak mau berlama-lama. "Tidak, Andrea tidak mengijinkan aku pergi lama-lama darinya."

Kegiatan Camelia yang tengah menelusuri buku besar menu pun terhenti. Ia tertunduk dan menutup buku menu perlahan.

"Oh." ujar Camelia dengan hati mencelos.

Gabriela menyandarkan tubuh di sandaran kursi, dengan tangan terlipat rapi di depan dada. Kakinya bersilang di bawah meja kaca. Jelas Gabriela ingin agar Camelia menangkap keengganannya berada disini.

"Kenapa? Kau tampak kecewa? Kau pikir cinta kami tidak sebesar saat kalian bersama?" ejek Gabriela besar kepala.

"Justru itu yang aku takutkan." bisik Camelia getir, menatap gelembung di vas bunga.

Bukan itu respon yang diharapkan. Gabriela masih mempertahankan diamnya dan membiarkan Camelia melanjutkan.

"Kau tidak tahu kesulitan apa yang aku hadapi." sambung Camelia dengan nafas tercekat.  "Dan suatu keajaiban Andrea melepaskan aku dengan mudah. Tapi --setelah melihatmu, aku jadi tahu alasannya. Dia tak lagi membutuhkanku karena sudah mendapatkan keinginannya."

Kening Gabriel berkerut. Lalu Camelia melanjutkan, kali ini berani menatap langsung mata Gabriela. "Psikopat itu tidak akan melepaskanmu."

Tersulut sudah emosi Gabriela atas penghinaan pertama Camelia. "Jika kau merasa patah hati putus dengan Andrea, tidak usah sampai menghinanya begini."

Dengan tatapan tak percaya, Camelia membalas. "K-kau berpikir aku begini karena tidak bisa move-on? Tidak Gabriela, aku merasa amat bersyukur bisa lepas dari Andrea."

Kali ini Gabriela terdiam, merasa serangan tuduhannya tidak mengenai Camelia.

"Dia pria kasar yang akan memenjarakan miliknya tak peduli apapun. Aku melihat bagaimana sikap over-protective Andrea padamu. Dia tidak menghargai orang, ia menganggap manusia hanya barang yang bisa ia miliki dan mainkan sesukanya."

Gabriela tak masalah dengan itu. Ia percaya ini cara Andrea mencintainya. Dan sangat mustahil pria dengan attitude luhur memiliki cara pandang konyol begitu.

"Aku mengalami tahun-tahun penyiksaan Andrea yang tempramental. Jika awal kenal dia adalah pria manis penuh perhatian, maka tak butuh waktu lama untuk membongkar sisi gelapnya."

Bayangan tamparan Andrea terlintas di benak. Tanpa sadar Gabriela bergidik.

"Aku selalu percaya lambat-lambat Andrea akan mencintaiku seutuhnya. Namun --di akhir kebersamaan aku ketahui bahwa aku hanya pelampiasan. Kau sadar bukan atas kemiripan wajah kita?"

Benar, kemiripan ini membuat Gabriela kaget saat pertama jumpa.

"Ia memperalat aku karena belum bisa memilikimu."

Toxic Relationship: Between Love and Pain [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang