"Gabriela? Can you hear me?"
"Gabriela?"
Dua orang berbeda gender yang sama-sama mengenakan jas putih itu hanya saling melemparkan tatapan penuh kekecewaan.
Sementara wanita bermuka cekung dengan lingkaran mata hitam yang mengerikan itu hanya menatap lesu dinding putih yang mengepungnya. Matanya begitu kosong dan hampa seolah-olah seluruh jiwanya telah disedot habis meninggalkan tubuhnya yang tinggal kulit dan tulang hingga membuat tulang pipinya menonjol di wajahnya yang pucat pasi bak mayat. Bibirnya pecah-pecah dan kering seperti musafir yang melakukan perjalan di padang pasir yang terik tanpa setetes pun air minum.
Si dokter wanita tidak mau menyerah begitu saja. Kembali ia mencoba membujuk wanita itu. "Gabriela... bisa kau ceritakan kembali kejadian yang menimpamu?" pintanya dengan suara selembut mungkin, seperti tengah merayu hewan buas yang kesakitan.
Wanita yang dipanggil Gabriela itu masih tak bergeming, bahkan jika matanya tidak berkedip --dalam rentang waktu yang lama-- mungkin mereka akan menyatakan kalau dia sudah mati.
"Apa kau membutuhkan sesuatu?"
Gabriela masih terdiam. Tak ada suara sepelan apapun yang keluar, bahkan hembusan nafasnya pun terdengar lambat dan samar.
Sementara seseorang di balik kaca satu arah hanya bisa terisak melihat kondisi orang yang ia cintai kini tak ubahnya bagai mayat hidup. Ia tak menyangka gadis periang super ambisius seperti Gabriela bisa mengalami rentetan kejadian naas yang sedemikian mengerikan. Ia bisa merasakan luka yang masih tersisa di mata yang kehilangan binarnya. Hingga akhirnya ia tak tahan untuk tidak memalingkan muka dari sosok yang tak ia kenali lagi.
"Listen, dear. We will help you and we won't hurt you like him, so tell me what's happened to you?"
Disinggung perihal si pria yang membuatnya begini, akhirnya membuat ia bereaksi. Matanya menjelajah ke seisi ruangan 3x4 meter itu dengan cepat seperti tengah mencari orang yang tengah mengawasinya.
"He watching us!" bisiknya dengan suara parau. Suaranya sarat akan ketakutan yang menyedihkan.
"Who? Kau tahu sendiri kalau dia sudah meninggal."
"No! He is NOT!" raungnya tiba-tiba membuat kedua dokter psikolog itu terperanjat.
"Ssh.. o-oke, tenang Gabriela."
Tiba-tiba ia merasa bumi bergetar hebat membuat ia panik dan langsung jatuh terjungkal dari kursinya dengan mata membelalak liar ke atas hingga membuat hampir seluruh bagian mata hitamnya menghilang. Si dokter pria paruh baya itu buru-buru menahan tangan Gabriela yang mulai meronta-ronta dengan tubuh berguncang hebat sambil berteriak meminta bantuan.
"Jangan sentuh aku. Aaargh!!" raungnya dengan lengkingan maut yang menyakiti telinga.
Tubuhnya masih menggelinjang hebat hingga tim medis yang lain berbondong-bondong memasuki ruangan untuk menahan Gabriela yang terus berontak dengan mengerahkan segala kekuatan yang ada. Ketika kedua tangan dan kakinya berhasil ditahan, barulah seorang dokter dengan rambut yang sudah abu-abu sepenuhnya itu menyuntikan cairan bening hingga membuat erangan dan teriakan Gabriela mulai memelan. Tubuhnya juga melemas dengan kelopak mata yang mulai menggelepar.
"There's nothing left. There's nothing left." gumamnya diantara kesadaraannya yang mulai menghilang.
Matanya mulai mencari wajah familiar yang selama tiga bulan ini hilir mudik di kesehariannya.
"Doc..." Tangan kurusnya terangkat.
Si dokter muda menyambutnya. "Yeah? I'm here Gabriela."
Diambang batas kesadaran yang mulai menipis ia berkata, "I will tell you, everything."
•
P.SCerita ini hanya fiksi, murni dari imajinasi aku. Jadi jika ada kesamaan itu murni ketidaksengajaan.
Yoo, ramaikan lapak ini!
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Relationship: Between Love and Pain [Completed]
Romance[PART LENGKAP] ⚠️KONTEN DEWASA⚠️ ‼️18+‼️ Bodohnya aku yang bertahan denganmu yang memenjarakanku. "Ini bukan cinta, tapi obsesi. Kau tidak pandai mencintai kau hanya piawai mengekang." "Kau tidak membutuhkan orang lain. Bergantunglah hanya padaku se...