°41°

85 5 4
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Hari-harinya kian terasa makin memberatkan karena kerinduan yang makin tak terbendung. Namun Gabriela tidak bisa terus bermuram durja merana menanti ayah sang jabang bayi pulang karena setumpuk pekerjaan menagihnya untuk segera diselesaikan. Syukurlah dengan bekerja ia bisa sedikitnya menepikan Andrea sejenak.

Jam makan siang datang dengan cepat. Sekarang dengan tumbuhnya manusia lain dalam tubuhnya membuat Gabriela merasa gampang lapar dan harus menyediakan stok cemilan. Dikenal suka makan, ditambah sekarang faktor kehamilan membuat Gabriela porsi makannya berkali lipat. Padahal tadi Mrs. Laurance sudah membekali ia sandwich dan sebotol besar susu ibu hamil, tapi nahasnya ia masih merasa lapar. Gia --pengawal pribadinya yang dingin dan kaku juga menempel cukup dekat untuk mengawasi Gabriela. Entah titah dari Andrea atau suruhan Mrs. Laurance.

"Hi." sapa Pierre saat lift terbuka.

Gabriela tak merasa aneh lagi.

Sejak hari dimana ia mengembalikan baju Andrea, Pierre selalu menunggunya di depan lift setiap jam makan siang. Pria berkacamata tebal itu dengan terang-terangan ingin mendekati Gabriela.

Tak menutup kemungkinan rumor aneh berterbangan ke segala penjuru perihal kedapatan Gabriela dan pegawai baru itu kerap menghabiskan waktu makan siang berdua di sudut kafetaria. Agak risih sebenarnya bagi Gabriela --seperti Pierre tidak tahu kepemilikan siapa dirinya. Makanya Gabriela memasang tembok dan tidak terlalu akrab dengan Pierre.

Sebenarnya ia masih trauma dengan kejadian Jason.

Sempat terlena mengingat Jason, Pierre melambaikan tangan di depan Gabriela untuk menarik atensi gadis itu.

"Kau melamun."

Gabriela menggeleng singkat mengusir Jason di pikiran, "Oh-- maaf."

"Apa kau mau tambah sosisnya? Sepertinya kau menyukainya."

Gabriela menolak halus, "Tidak usah." Padahal ia masih merasa lapar dan beberapa potong sosis lagi tampaknya akan membuat perutnya diam --untuk setengah jam nanti.

Pierre yang duduk menghadapnya memfokuskan semua perhatian pada Gabriela yang terus mengunyah makanannya. "Kau terlihat lesu. Apa pekerjaanmu menyulitkanmu?"

Aku lesu sebab separuh jiwaku tersangkut di Italia. Pikir Gabriela getir.

Jawab Gabriela dengan menggeleng. Lalu Pierre melanjutkan. "Atau kau sedang bertengkar dengan kekasihmu?"

"Lebih tepatnya aku sangat merindukannya." balas Gabriela setengah melamun, membayangkan Andrea di penthouse menyambut kepulangannya.

"Jadi, bagaimana rasanya punya kekasih CEO? Apa seperti di film-film romansa-aksi?"

Suapannya menggantung di udara kosong, mulutnya menganga. "H-how--" bisiknya pelan dan cepat sadari kalau awal-awal jumpa ia memang berharap Pierre tahu siapa pemilik hatinya. Tapi kenapa ia sok pura-pura kaget seolah-olah hubungan backstreet-nya terkuak.

"Biasa saja kok." timpal Gabriela singkat.

"Mana mungkin biasa saja jika kau liburan mewah bisa kau lakukan tiap akhir pekan."

Kali ini ia benar-benar terkejut, "Bagaimana kau tahu?"

Pierre mendorong kaca mata-nya yang merosot di hidung runcingnya. "Feed-mu sudah sekelas influencer kenamaan. Dan itu mengingatkan aku, kenapa kau tidak mengikuti-ku balik?"

"Oh."

Padahal di setiap postingannya --yang memang kini banyak ke pamer kemewahan hadiah Andrea, ia tidak pernah sama sekali mengupload foto kebersamaannya dengan Andrea --meski ia sangat ingin memamerkan Andrea ke dunia bahwa pria tampan, penuh kejutan dan andal dalam permainan ranjang ini adalah miliknya. Andrea memilih dirinya.

Toxic Relationship: Between Love and Pain [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang