°29°

190 9 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Akhirnya dokter mengijinkan Gabriela untuk pulang karena kondisinya sudah membaik. Tidak banyak yang harus dikemas jadi Andrea dan Gabriela bisa segera pulang kembali ke penthouse di lantai tertinggi milik Andrea.

"Welcome home Mr. Felton and Miss Morris."

Mendapati wanita berusia sekitar 40 tahunan berdiri menyambut mereka di depan pintu masuk membuat Gabriela mengernyitkan dahi. "O-oh, yah. Thanks... um--"

"Gabriela, ini Mrs. Laurance. Dia asisten rumah tanggaku. Biasanya dia datang seminggu tiga kali saat rumah kosong. Tapi sekarang, aku memintanya untuk tetap di rumah jika kau membutuhkan sesuatu." jelas Andrea.

"Do you want some coffee or tea, Miss Morris?"

"Um-- tea, please?"

Laurance mengangguk patuh dan segera menghilang ke dapur. Kemudian Ben menyusul masuk dengan seorang pria tinggi tegap berwajah dingin serta seorang wanita yang tingginya hampir setara dengan si pria tinggi. "Sir." kata Ben menarik perhatian Andrea.

"Oh. Dia Edgar dan Gia, pengawalmu." Andrea lagi-lagi memperkenalkan keduanya yang katanya akan menjadi pengawal Gabriela.

Gabriela dibuat melotot seketika. Pasalnya Andrea bersikap terlalu berlebihan dengan menyediakan pelayan serta pengawal pribadi untuknya.

"P-pengawal?"

Andrea mengangguk takjim, sembari tangan besarnya meraih tangan Gabriela. "Iya, aku ingin selalu memastikanmu aman."

Ia tak tahan untuk mendengus, lalu dalam bisikan cepat ia berkata, "Bisa beri kami privasi, please?" Ben dan dua pengawal Gabriela segera menyingkir dan meninggalkan keduanya saja.

"Apa kau tahu sikapmu ini sangat berlebihan?"

Menerima tuduhan seperti itu membuat Andrea tersinggung. "Tidak ada yang namanya berlebihan untuk keselamatan dirimu."

"Aku bisa menjaga diri dengan baik."

"Resikonya terlalu besar. Dengan adanya pengawal yang menjagamu, kau jauh lebih dari aman."

Gabriela membuang nafas kasar, tak tahan dengan sikap keras kepala Andrea yang tidak akan mau mengalah jika perintahnya tidak mau dituruti.

"Bisakah sekali saja kau mengajakku berdiskusi, terutama yang menyangkut hidupku? Tidak pernah sekalipun kau bertanya mana yang aku suka dan mana yang tak aku suka. Kau selalu berkehendak sesuai inginmu tanpa memedulikan pendapatku." luap Gabriela dengan tangan mengepal.

"Aku sudah memikirkannya dengan cermat. Semua ini demi keselamatanmu."

"Oh damn, Andrea! I'm fine, really fine. Dan aku tidak lebih dari baik dengan semua pengawalan ketatmu, aku bisa frustrasi karenanya."

Mendengar perkataan itu, sontak raut wajah Andrea semakin dingin tak terbaca. Tatapannya mengintimidasi membuat Gabriela merasa gugup yang dalam dirinya.

"Apa kau... merasa frustrasi hidup bersamaku?"

Niat hati ingin menyangkal tegas pertanyaan mengerikan itu, namun mulut bagai terkunci enggan bersuara. Ia sendiri bingung dalam artian frustrasi di sini. Terkadang ia sangat frustasi dengan semua sikap otoriter Andrea yang terasa begitu-- mengekangnya. Namun, ia lebih frustrasi lagi jika tidak melihat wajah Andrea barang satu jam saja. Lantas, bagaimana ia menjelaskan perasaan campur aduknya ini?

"Andrea aku--"

"Jangan mulai dengan tangisan sialanmu itu, wanita! Katakan apa kau frustrasi hidup bersamaku atau tidak?!"

Toxic Relationship: Between Love and Pain [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang