°40°

104 3 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Seperti janjinya, pria itu benar-benar menepatinya. Esok harinya, ia sudah menunggu di samping pintu masuk VIP Team dengan menenteng sebuah paper bag.

"Kau datang." sapa Gabriela memulai percakapan.

Pria itu mengangkat paper bag-nya. "Aku merasa sungkan dengan barang mahal seperti ini."

Gabriela terkekeh, sama dengan dirinya yang masih tak terbiasa dengan kemewahan yang dilimpahkan Andrea. "Tapi, bagaimana kau tahu aku bekerja disini?"

"Well, tidak sulit menemukan wanita cantik sepertimu." goda si pria.

Kepopulerannya akibat skandal dengan CEO pasti sudah jadi santapan lumrah di kalangan pegawai. Gabriela balas nyengir seadanya menanggapi guyonan si ganteng tinggi itu.

"Tempat kerjamu sangat keren, tak salah jika orang-orang menyebut ini tim elit." komentarnya sembari berjinjit kecil, menjulurkan leher mengintip di balik pintu buram.

Sesuatu melintas di pikirannya, "Siapa namamu?"

"Oh, aku Pierre Coffin. Aku baru bekerja seminggu di bagian marketing."

Pantas saja aku tidak mengenali wajahnya, gumam Gabriela. Meski jarang keluar, tapi setidaknya ia ada kemungkinan berpapasan di pintu masuk atau satu lift.

"Well, Mr. Coffin sebenarnya masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan jadi--"

Muka baby face-nya tampak bersalah, "Maafkan aku sudah menyita waktumu."

Gabriela menggeleng menenangkan, "Tidak usah sepanik itu."

"Kalau begitu, selamat bekerja." pamit Pierre sedikit menundukkan kepala.

Gabriela balas dengan senyum simpul sebelum berbalik membuka pintu ruangan dengan ID Card-nya. Baru selangkah kaki menapak di ruangan, sebuah seruan membuat tubuhnya berbalik.

"Kau boleh memanggilku Pierre. See you, Gabriela."

Pria yang sangat berterus terang. Apa benar dia tidak tahu kepemilikan siapa dirinya? Tak ambil pusing, ia abaikan saja berharap tidak usah bertemu lagi dengan Pierre Coffin, si pegawai baru.

.
.
.

"Andrea, kenapa kau lama sekali?" keluh Gabriela ketika melakukan panggilan video call dengan Andrea di depan McBook.

"Sayang, maafkan aku. Ini pekerjaan yang sangat penting."

Lebih pentingkah daripada kehamilanku? Gerutu Gabriela dalam pikirannya.

"Seharusnya saat aku memintamu untuk pergi bersama, kau menurutinya." sambung Andrea, dengan mata fokus pada dua gundukan yang menggantung di balik satin tipis berwarna pink pucat yang dikenakan Gabriela.

"Sekarang aku menyesali diri karena keras kepala." akui Gabriela masam sembari mengangkat kedua kaki mulusnya, menendang-nendang udara kosong.

"Jika kau menyesal, ikuti perintahku sekarang." kata Andrea dengan suara rendah berat dan agak serak.

Bagai terkoneksi dengan cepat, Gabriela paham akan maksud tatapan tajam sang kekasih. "A-apa... kita akan melakukan phone sex?" bisiknya parau, berharap tinggi. Membayangkannya saja membuat bulu-bulu halus di tangannya yang terbuka meremang semua.

Toxic Relationship: Between Love and Pain [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang