AUK 40 -

5.7K 324 135
                                    

"Secara perlahan, kisah yang dimana hanya ada aku dan kamu mulai pudar. Apakah ini pertanda bahwa kita mulai mendekati akhir?"

Iye balik lagi. Btw apakabar? Kalian sama sekali gak rindu cerita ini?

Udah sih. 100+ komen ya? Itu aja loh, sedikit.

Hehe. Oke langsung ajah

Happy Reading💙

***

"Weh! Lo ngapain berdiri kayak orang bloon di situ? Masuk buru, udah mo telat ini," Aldizar memanggil Letta saat melihat gadis itu hanya berdiri sambil menatap Jalanan seperti orang bloon.

Letta menoleh, kemudian menggeleng kan kepala. "Duluan aja," tentu saja Letta menolak, karena hari ini dia akan di jemput oleh Ael.

"Lah? Elo mau jalan kaki?" Sahut Armin di balik kursi kemudi.

"Gak,"

"Terus? Lo mau naik apaan sekolah?"

Ekspresi Letta datar, sangat tidak minat dengan tawaran tumpangan yang di berikan Aldizar dan Armin padanya. Tentu saja dia tidak berminat, dikarenakan dirinya yang masih menyimpan amarah untuk kedua sepupunya itu.

"Kita masih marahan ya, jangan ajak gue ngomong,"

Nada ketus yang timbul dari bibir Letta, membuat Aldizar nyaris melepaskan tawa nya kalau saja Armin tidak menjambak rambut nya terlebih dahulu, hingga suara perih terdengar dari pemuda si bermuka kocak tersebut. Lagian, ada orang yang marahan bilang-bilang sama seperti Letta?

"Dih, dongo! Ada orang marah bilang-bilang dulu gitu? Udah sih, gak usah ngambek, ayo kesini cepet! Nanti gue anterin deh, kemanapun lo mau pergi," bujuk Aldizar, tapi tetap tak di hiraukan oleh Letta.

Gadis itu malah masih betah di tempatnya, sembari memainkan kuku. Tak peduli sudah berapa kali dan sekeras apa Aldizar memanggil namanya. Lebih baik ia menunggu Ael, sambil menikmati semilir angin pagi hari.

"Woy! Budek lo ya?!"

Letta melambaikan tangan sebagai tanda ia mendengar nya namun tak ingin ikut dengan mereka.

"Berisik! Suara burung pak RT aja kalah sama suara lo Al! Sana berangkat, gue mau nunggu Ael,"

Aldizar sempat melongo, termasuk Armin yang mendadak membulatkan mata. Ael? Manusia yang tingkat kewarasannya hanya bisa diukur dengan jari kelingking itu? Ingin menjemput Letta? Dan Letta dengan mudahnya mengiyakan? Keajaiban apa yang barusan terjadi, oh Tuhan.

"Ael? Lo serius?" Armin harus memastikan nya sekali lagi.

Letta menoleh, memiringkan kepala menatap Armin. "Iya, emang kenapa sih?!"

"Are you seriously? Lo beneran mau di jemput sama Ael yang kewarasannya cuman seukuran sendok nyam nyam itu?"

Letta menghembuskan napas berat, oh ayo lah. Apa salah nya jika Ael ingin menjemputnya? Lagipula itu bukan kesalahan besar yang harus ia bayar mahal. Hanya sebatas jemput, tidak lebih.

Aku Untuk KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang