Chapter 32 - Yang Berbekas

48 35 293
                                    

Selamat datang di lapak Irama Cinta.

Jangan lupa pencet bintang di pojok bawah ya karena itu gratis.

Udah pada follow belum nih?

Kalian pernah ikut pensi gak sih?

Atau jadi penonton doang?

Play List Kamu|| Jeon Somi ~ Anymore

Happy Reading.

🍁🍁🍁
Jangan mudah percaya dengan manusia, nanti jatuhnya malah kecewa pada akhirnya.
🍁🍁🍁

"Rama itu gak sebaik yang kamu kira."

Kerutan di dahi terpampang begitu nyata kala Cinta mendengar perkataan Ravish. "Maksudnya?"

Baru saja Ravish akan membuka mulut, ada seseorang yang diam-diam mengintip dan menguping pembicaraan keduanya. Orang tersebut mengeluarkan kode dengan meletakkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri seolah mengatakan Ravish untuk diam.

"Kak, kenapa diem?"

Sontak, perhatian Ravish langsung tertuju pada Cinta. Dia menelan ludahnya kasar. Jujur, ia ingin mengatakan hal tersebut pada Cinta, tetapi di sisi lain, Ravish sudah terlanjur janji terhadap seseorang.

"Rama gak sebaik yang kamu kira, karena aku lebih baik dari dia," ucap Ravish. "Maksudku, kamu pasti daftar pemeran pensi juga, kan? Aku pastiin, yang bakal jadi Dewa Rama nanti aku. Dan kamu yang jadi Dewi Shinta-nya. Walaupun bakat aku di musik, tapi akting aku jauh lebih baik dari Rama," ralatnya.

Cinta terkekeh mendengarnya. "Kirain apaan." Dia bernapas lega. "Lagian, aku ikut pensi gak mengharap memerankan Dewi Shinta, aku cuma ikut andil aja buat sekolah."

"Nanti aku bantu voting foto kamu biar menang, tenang aja. Tapi kamu jangan lupa bantu aku juga ya," ucap Ravish sedikit bertanya. "Aku ke kelas dulu, ada kepentingan soalnya."

Kepala Cinta mengangguk, membiarkan Ravish pergi. Entah mengapa, dia merasa ada hal ganjal yang sengaja Ravish sembunyikan darinya. Menepis firasat buruk yang menghantui pikiran, Cinta segera pergi dari sana.

***

"Nta, foto dulu kenapa?"

Cinta merasa risih karena sedari tadi Tiya memoto dirinya tanpa izin. Sepulang sekolah, temannya itu mengajaknya pergi ke kafe dengan embel-embel mentraktir. Namun, setelah sampai, Tiya malah mengarahkan kamera ponselnya pada Cinta.

"Ya', malu ih, dilihatin banyak orang." Cinta menutupi wajahnya sendiri.

Kafe bernuansa klasik tersebut memang tidak terlalu ramai pengunjung, tetapi suara Tiya yang cukup keras dan memohon pada Cinta agar mau dia foto, cukup mencuri perhatian orang-orang di sana. Rasanya Cinta ingin pulang saja, tetapi dia tidak mau Tiya kecewa. Wajar, sih, namanya juga gak enakan.

"Biarin aja orang mereka punya mata. Mereka bayar, kita juga bayar di sini." Bukan Tiya namanya kalau tidak acuh terhadap keadaan. Baginya, orang asing tidak perlu terlalu diurus. "Lagian, tempat ini bagus banget nuansanya, cocok buat background fotomu."

"Foto apaan, sih?"

Tiya berdecih. "Ya buat di post di sosmed, lah. Buat pemilihan peran."

Irama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang