Temperature Of Love-31

143 15 0
                                        

SAAT ini jam sudah menunjukkan pukul 22.00 dan Rachel tak kunjung mendapatkan tumpangan taksi. Gadis itu hanya duduk termenung di halte—ditemani dengan sang sopir taksi yang masih sibuk mencari bantuan untuk memperbaiki mobilnya yang masih mogok.

Seketika ponsel Rachel berbunyi. Dan ini untuk yang kesekian kali. Alhasil ia menghembuskan napas beratnya sembari menatap benda pipih digenggamannya. Sudah pasti Luna. Sungguh, ini bukan panggilan pertama yang dia lakukan. Selama lebih dari setengah jam ini, wanita itu tak berhenti melakukan panggilan telepon untuknya, hanya saja ia tidak mengangkatnya lantaran takut.

Rachel memijit pangkal hidungnya dan membuang napasnya secara kasar. Ditatapnya ponsel itu dengan jengkel.

Gadis itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dirinya mulai dilanda kebingungan. Apakah panggilan ini perlu ia angkat? Pasalnya, Luna pasti akan terus meneleponnya sampai panggilannya terjawab.

Beberapa detik berlalu, Rachel menghembuskan napas ke udara. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memilih untuk mengalah. Dengan berat ia mengangkat panggilan tersebut meskipun dia tahu bahwa setelah ini Luna akan memarahinya.

"Ke mana kamu?" Luna langsung bertanya pada inti. Nada bicaranya terlihat marah. "Kalo Mama bilang pulang ya pulang!"

"Kamu bener-bener nantangin Mama ya!" Luna kembali berujar, sedangkan Rachel tidak berani menyahut. "Memangnya mau kamu Mama pukulin kayak waktu itu?!"

Bentakan itu berhasil memicu emosi Rachel. Dirinya menyesal telah mengangkat panggilan tersebut. Padahal kalau Luna berbicara baik-baik, pasti Rachel akan meresponsnya dengan baik pula.

"Awas ya kamu. Lihat apa yang bakal Mama lakuin nanti!"

"Sekarang udah enggak ada yang ngebela kamu secara Papa sudah muak sama kelakuan kamu,"

Rachel nyaris tidak percaya oleh perkataan Luna. Dirinya tidak tau harus bereaksi seperti apa, bila seandainya Ardi benar membencinya. Jujur saja gadis itu lebih baik dipandang buruk oleh Luna daripada harus dibenci oleh Ardi. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, akan tetapi rasanya sangat aneh apabila Ardi membencinya.

Gadis cantik bermata bulat itu berdecak kesal. Ia tahu pasti Luna memang sengaja mengatakan itu agar ia mengalah. Pasalnya, wanita itu tahu bahwa Rachel takut dengan Ardi.

Rachel berusaha sabar meskipun ia ingin sekali meluapkan seluruh emosinya, "aku mau ke apartemen untuk nenangin diri," akhirnya hanya itu yang ia katakan sebagai alasan supaya dirinya tidak terus-menerus di paksa untuk pulang.

"Alesan!" Bentak Luna. "Pulang sekarang!"

"Enggak mau, Ma," air mata yang sedari tadi berusaha Rachel tahan, akhirnya menetes juga. "Kalian semua sama aja, enggak ada yang bisa ngertiin perasan aku. Apalagi Mama, kerjaannya marah-marah doang,"

"Mama enggak bakal marah kalau kamu enggak cari ulah!"

"Aku cari ulah apa memangnya? Yang ada Mama yang selalu nyari perkara sama aku!" Rachel berusaha menyingkirkan perasaan takutnya. Kalau ia diam, ia akan semakin diinjak-injak oleh Luna. Biarkan saja mama tirinya itu membencinya.

"Yaudah, sekarang terserah kamu maunya apa. Intinya jangan nyesel kalau nanti Mama bakalan ngelakuin semua ancaman yang Mama bilang tadi,"

"Inget ya, Mama enggak pernah main-main sama ancaman Mama,"

Lalu, sambungan telepon terputus. Dan tangis Rachel pecah saat itu juga.

Gadis itu menekan dadanya yang terasa sesak. Ia sangat kesal dengan semua ini. Perkataan Luna sangat menyakiti hatinya. Ancaman-ancaman yang selalu dia berikan membuat Rachel merasa sangat tertekan sekaligus murka.

Temperature Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang