Temperature Of Love-Epilog

100 6 0
                                    

TENGAH malam sekali, sekitar pukul 1 pagi, hujan turun begitu deras. Membuat Rachel yang belum terlelap dari tidurnya bangun dari posisinya dan berjalan meringkuk memeluk tubuhnya karena merasa sangat dingin—menuju jendela kamar untuk melihat kondisi luar.

Dibukanya kain penutup jendela dan dilihatnya kondisi luar yang amat gelap dan ricuh. Pepohonan di halaman rumahnya bergoyang-goyang karena diterpa air hujan dan angin yang begitu kencang sekaligus. Menghadirkan rasa khawatir bagi Rachel lantaran apa yang ia lihat cukup mengerikan.

Badan Rachel mulai menggigil, tetapi dia belum beranjak dari posisinya. Hingga akhirnya sebuah pelukan hangat dari belakang tubuhnya berhasil membuat ia tersentak sampai-sampai detak jantungnya bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

"Astaga, Raynzal," gumamnya sangat terkejut sembari memutar balik badan, menatap Raynzal yang nampak nyaman memeluknya. Menaruh kepalanya di bahu Rachel.

Sempat terdiam sesaat, membiarkan tangan kekar si tampan tetap pada posisinya—dengan kedua mata terpejam. Begitu merasakan dingin pada tubuh Rachel, Raynzal melepas pelukannya. Ditatapnya sang gadis dengan teduh, "kamu kedinginan? Aku matiin AC ya,"

Rachel mengangguk pelan dengan mata sayunya. Dan Raynzal pun beralih mengambil remot di atas nakas dan mematikan AC tersebut.

Rachel tetap pada posisinya, membuat Raynzal kembali menghampirinya. "Dari tadi kamu enggak tidur ya, kenapa?"

Bukannya menjawab, Rachel malah menatap calon suaminya. Sebelum akhirnya mengangguk pelan, membenarkan. "Aku khawatir sama acara besok,"

Raynzal diam sesaat, lalu mengangguk kecil. Disingkirkannya beberapa anak rambut yang menutupi wajah sang kekasih. Menatapnya lembut sembari tersenyum simpul, "nggak papa, itu wajar,"

Di tengah temaramnya lampu, Raynzal beralih menutup hordeng jendela dan bergerak memeluk kekasihnya, bermaksud menenangkan meskipun dia sendiri sedang merasakan hal yang sama. Dikecupnya kening Rachel lama, sembari menghusap-husap punggungnya halus.

Hal yang sama Rachel lakukan, memeluk erat si tampan, menghusap-husap punggungnya yang tidak memakai balutan apapun, alias telanjang dada. Memejamkan kedua matanya diiringi dengan rasa nyaman yang tidak ada duanya.

Hingga beberapa menit setelahnya, pelukan mereka terlepas dan Raynzal masih memandanginya dengan tersenyum. Menandakan perasaan bahagia yang sedang dia rasakan saat ini.

Berbeda dengan Rachel yang masih merasa gugup, sampai-sampai seluruh wajahnya memerah. Ditelannya salivanya susah payah, disertai dengan bibir bergetar. "Maaf ya kalau kamu keganggu,"

Raynzal menggelengkan kepalanya, tak setuju. Sedangkan satu tangannya sibuk mengelus pipi Rachel. "Aku juga enggak bisa tidur, mikirin acara besok," katanya. "Tapi enggak sabar juga sih,"

Rachel mengangguk pelan, "pasti semua sahabat kamu dateng ya,"

"Pasti," singkat lelaki tersebut. "Kalo enggak dateng aku pecat dari perusahaan,"

Rachel tertawa kecil lalu kembali berkata, "aku takutnya gaun yang aku pilih enggak sesuai ekspektasi kamu,"

"Ssssh," Raynzal menaruh telunjuknya di bibir Rachel. "Waktu fitting, 'kan aku udah bilang semuanya udah pas,"

"Tapi aku masih kepikiran sama gaun yang satu lagi, yang kamu bilang motif payetnya lebih menarik dari ini,"

Si tampan menggeleng pelan. "Kamu cantik pakai baju apapun sayang,"

Membuat Rachel tersipu malu, menahan senyumnya yang hendak keluar sekarang juga. Menghadirkan semburat merah di pipinya tanpa bisa di cegah.

Tetapi entah kenapa Raynzal nampak serius dengan ucapannya. Ia bahkan tidak berekspresi apapun. Satu tangannya sibuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik kekasihnya ini.

Temperature Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang