REGAL duduk dengan posisi menekuk kedua lututnya dengan pandangan lurus ke bawah. Dia rasakan keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya. Bahkan kini ritme jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Ditelannya salivanya susah payah sembari mengalihkan pandangannya kepada sosok di sampingnya—sosok yang sudah menemaninya sejak semalam.
Sasa tidak menatap anaknya sedikitpun. Ia terus menurunkan pandangannya.
"Kenapa secepat ini, Bun?"
Kalimat pertama yang Sasa dengar atas semua ucapan yang sudah dia lontarkan sebelumnya. Ia diam sejenak, memikirkan jawaban yang akan ia beri untuk menjawabnya. Tatapan sendu Sasa tunjukkan, disusul dengan senyum kecil dengan rasa iba yang mengiringinya sepanjang waktu. Berakhir dengan menjulurkan satu tangannya untuk menghusap pelan rambut sang anak, bermaksud menenangkan dan mengurangi rasa terkejutnya.
"Bunda yakin kamu bisa nerima semua ini," ucap Sasa halus, akan tetapi Regal malah menggeleng pelan. "Mulai sekarang jangan pernah anggep dirimu sendirian ya. Banyak yang sayang sama kamu,"
Sasa berhenti menghusap rambut Regal, lalu mengalihkan pandangannya. "Perihal Rachel dan Raynzal yang mau nikah, Bunda sama Papa sendiri enggak ada pilihan lain," ujarnya. "Ada banyak hal tentang mereka yang enggak kamu tau,"
Air mata Regal jatuh. Ia lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran kasur. Masih belum mau menatap Bundanya. Rasa frustasi menghampiri jiwanya begitu cepat.
"Mereka begitu egois adain pesta pernikahaan di saat Mama Luna habis meninggal. Apa yang ada dipikiran Rachel saat ini, Bun?"
Sasa menarik nafas sejenak. "Memang dari awal, pernikahan ini bakal di adain tanggal segitu. Siapa sangka kalau timingnya pas sama meninggalnya Mama kamu,"
Regal menghembuskan napas kasar. Dibuangnya perasaan cemburu itu secara jauh-jauh. Bagaimanapun juga dia tidak boleh terlihat lemah. "Yaudah, have fun," ucapnya sembari menggangguk-angguk. Ditatapnya Sasa seperkian detik sembari mengatakan, "pada akhirnya kita harus ngerelain sesuatu yang enggak ditakdirkan untuk kita, 'kan?"
Sasa diam, lalu mengangguk pelan. Tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja hatinya merasa tercetus seusai Regal melontarkan kalimat itu. Berusaha kuat meskipun dalam hati ia dapat merasakan apa yang sedang Regal rasakan.
"Oh ya, Gal. Semalem kamu mau ngomong apa?" Akhirnya Bunda memutuskan untuk mengalihkan topik—yang kebetulan sangat ia ingin tanya sedari tadi.
Semalam Regal memanggil-manggil namanya dan sayangnya Sasa tidak menyadari itu karena dirinya sudah hampir larut dalam tidurnya. Ia pikir panggilan itu adalah mimpi, tapi ternyata tidak.
Sempat hening selama beberapa detik sebelum akhirnya suara serak itu kembali memenuhi seisi ruangan. "Oh, aku cuma mau mastiin apa Bunda udah maafin aku,"
"Enggak ada Ibu yang nggak mau maafin anaknya, Gal," Sasa menjeda ucapannya sejenak. "Ngelihat kamu enggak berdaya gini buat Bunda ngerasa iba meskipun sejujurnya Bunda enggak mau maafin kamu,"
Regal mengangguk pelan, "enggak ada yang mau hal ini terjadi, Bun," singkatnya. "Siapapun pengin dapat keinginan yang dia mau. Enggak ada alasan untuk nggak berbuat apa-apa untuk hal-hal yang dia impikan sejak lama,"
"Kalau posisinya di balik, apa Bunda bisa jamin Raynzal nggak akan ngelakuin hal yang sama seperti aku?"
"Sssst," Sasa menggeleng pelan. "Kita lupain ya,"
Akan tetapi, Regal tetap melanjutkan kalimatnya. "Ngelakuin keputusan nggak masuk akal dengan nyuruh Rachel tinggal sama aku—yang akhirnya ngebuat aku jatuh cinta sama dia. Cowok mana yang bisa nahan diri untuk nggak suka sama cewek yang tiap hari nemenin dia, Bun,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Temperature Of Love
Teen Fiction[CERITA SUDAH LENGKAP] [SEQUEL OF RAYNZAL ANGKASA] Selama delapan tahun ini, Raynzal percaya bahwa hidupnya dihantui oleh kesedihan. Tidak ada sehari pun yang ia lewati untuk merenung dan menyendiri, meratapi nasibnya yang kian memburuk. Rachel, ga...