REGAL terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Kepalanya bersandar pada besi penyangga dengan energi yang sudah hampir habis. Nafasnya mulai berhembus beraturan, bahkan tangisnya sudah berhenti meski jejak air mata masih membasahi wajahnya.
Angin malam berhembus cukup kencang, menyebabkan tubuh kekar berbalut hoodie itu sedikit kedinginan. Dalam hati merasa tidak nyaman oleh udara luar saat ini. Tetapi apa daya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berdiam diri—entah sampai kapan.
Mungkin sampai dirinya lelah dan memutuskan untuk pergi ke tempat lain yang jauh lebih nyaman dan hangat.
Tapi yang jelas, bukan rumahnya.
Selama hampir satu jam ini Regal hanya diam, merenungi segala peristiwa yang telah ia lalui hari ini. Begitu banyak hal yang tidak ia harapkan terjadi. Bertubi-tubi tanpa di beri celah untuk dirinya bernapas sedikitpun.
Regal menelan salivanya susah payah. Tenggorokannya mulai terasa sakit. Akibatnya ia meringis kecil sembari memejamkan kedua matanya yang sebetulnya sudah mengantuk berat.
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Setelah ribut dengan Raynzal, ia memutuskan untuk pergi jauh. Berusaha menghilangkan jejak supaya tidak ada satupun orang yang dapat menemuinya.
Hingga akhirnya, berakhirlah Regal di salah satu halte pemberhentian bus—yang letaknya cukup jauh dari rumah Ardi. Dirinya sendiri sebetulnya sempat bingung harus ke mana. Tubuhnya yang lemas disertai otaknya yang sudah hampir pecah—menyebabkan dirinya kesulitan untuk berpikir. Hingga saat sudah tidak punya pilihan lain, tempat inilah menjadi tempat pilihan untuk Regal melarikan diri. Meskipun ia tidak tahu apakah Papanya akan mengetahui keberadaannya di sini.
Kalau di tanya mengapa Regal tidak pulang dan menghadiri pemakaman Luna, jawabannya adalah karena ia tidak mau bertemu dengan Ardi, Rachel, Regal beserta Bundanya yang pasti ujung-ujungnya energi dia habis untuk menghadapi keempat manusia tersebut. Sudah cukup tadi dia bertengkar dengan Ardi dan Raynzal.
Regal sangat muak dengan mereka semua. Orang-orang itu pasti senang atas kematian Luna. Habis ini mereka pasti akan merayakan kesenangannya atas kematian mama tirinya itu. Terutama Raynzal, rivalnya itu pasti menjadi sosok yang paling senang di antara yang lain secara dia lah yang paling membenci Luna.
Sementara Rachel.... Biarlah. Regal sudah tidak peduli dengan manusia tidak tahu diri itu. Biarlah dia bersenang-senang bersama calon suaminya atas kematian Luna sehabis ini.
Beberapa menit berlalu begitu cepat, tanpa sadar Regal sedikit tertidur. Kepalanya sedikit bergerak ke bawah.
Samar-samar menyadari pergerakan tersebut yang akhirnya kembali membangkitkan kesadaran lelaki tampan yang hampir saja lenyap dalam hitungan detik. Ia lantas kembali membuka matanya dan menatap sekitar yang sangat sepi—tidak ada orang.
Meskipun setelahnya tidak ada yang dia lakukan lagi selain diam. Mematung di tempat.
Regal kembali menelan salivanya.
Oh tidak, kali ini tenggorokannya terasa lebih sakit dari sebelumnya. Membuatnya mengerang dengan wajah pucat pasinya—sebelum akhirnya mulutnya terbatuk cukup keras. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali yang mengakibatkan bahunya naik-turun dengan cepat.
Kedua mata merah itu terbuka lebar, merespons cepat rasa sakit yang menyerangnya secara tiba-tiba. Tak bisa di tahan.
Itulah akibatnya mengapa air mata Regal kembali menetes. Tangisannya kembali keluar tanpa bisa di kendali. Kembali meratapi nasib beserta keadaan yang sedang tidak berpihak padanya.
Satu tangannya mencengkeram rambutnya dengan keras, mengakibatkan urat-uratnya tercetak dengan jelas. Kembali di susul dengan batuk secara berulang, yang membuat satu tangannya bergerak menutup mulutnya yang sudah penuh dengan luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temperature Of Love
Teen Fiction[CERITA SUDAH LENGKAP] [SEQUEL OF RAYNZAL ANGKASA] Selama delapan tahun ini, Raynzal percaya bahwa hidupnya dihantui oleh kesedihan. Tidak ada sehari pun yang ia lewati untuk merenung dan menyendiri, meratapi nasibnya yang kian memburuk. Rachel, ga...