Edisi Flashback : 15
8 Tahun Lalu...
— Temperature Of Love —
PUKUL 00.30 dan Rachel belum tidur. Ia tidak bisa beristirahat secara normal lantaran hatinya merasa gelisah. Kejadian tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. Pikiran Rachel kalut akan satu hal yang membuat perasaannya semakin tak terarah.
Hari ini terasa begitu lelah dan berat. Kejadian-kejadian diluar dugaan terus menghampirinya tanpa henti. Jelas saja hal itu membuat Rachel merasa bingung harus menanggapinya seperti apa.
Tidak ada yang bisa ia perbuat. Hatinya sangat sedih. Dan sepertinya menangis adalah solusi yang tepat agar perasaannya sedikit membaik. Tapi, mengetahui bahwa Luna sedang tidur disampingnya membuat dia merasa serba salah.
Rachel tidak mau tangisnya terdengar di telinga wanita hamil itu. Dirinya tidak mau menganggunya.
Maka dari itu, kini ia memutuskan untuk pergi ke balkon kamar—seraya membawa ponsel dan berniat menelepon Raynzal.
Siapa tau anak itu belum tidur dan Rachel bisa melepas rindunya melalui panggilan telepon.
Ia menghela napas panjang dan memandangi ponselnya sejenak. Entah kenapa jantungnya berdebar.
Memencet nama Raynzal dan mendekatkan ponselnya ke telinga, Rachel menundukkan kepalanya sembari memandangi kolam renang yang terletak dilantai satu.
Apa yang Rachel harapkan terjadi. Panggilan teleponnya tersambung.
“Halo?”
Suara Raynzal terdengar serak, membuat Rachel harus menelan ludahnya susah payah.
“Halo, Zal. Kamu di mana? Kok belum tidur?” Langsung saja Rachel bertanya.
“Lagi main game,”
Jawab Raynzal seadanya—yang lantas membuat Rachel bungkam. Sebetulnya tidak ada hal yang ingin ia bicarakan. Dirinya hanya ingin mendengar suara sang kekasih.
Lagipula, Rachel tidak mood untuk membahas persoalan lain. Fokusnya hanya pada hubungan mereka.
Rachel ingin mengatakan rindu namun entah kenapa rasa malu menghampirinya. Ia merasa ada yang aneh apabila mengucapkan kalimat tersebut.
Ia juga takut Raynzal tidak memperdulikan rindunya ini—meskipun Rachel tau itu adalah suatu hal yang mustahil.
“Kamu belum tidur?”
Kemudian, suara Raynzal terdengar sehingga membuat gadis bermata bulat itu tersenyum kecil.
“Belum,”
“Tidur. Besok sekolah,”
“Enggak mau..” ujar Rachel lirih. Dengan sedih dia mengarahkan pandangannya pada langit malam yang dihiasi bulan dan ribuan bintang. Mendengar suara Raynzal yang nampak dingin benar-benar membuat Rachel ingin menangis.
“Raynzal di mana sekarang?”
“Ada,”
“Enggak di club, ‘kan?”
“Enggak,”
“Besok Raynzal sekolah?”
“Enggak,”
“Kenapa?”
“Enggak papa,”
Rachel diam. Ia kehabisan kata-kata. Perubahan sikap Raynzal benar-benar ketara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temperature Of Love
Teen Fiction[CERITA SUDAH LENGKAP] [SEQUEL OF RAYNZAL ANGKASA] Selama delapan tahun ini, Raynzal percaya bahwa hidupnya dihantui oleh kesedihan. Tidak ada sehari pun yang ia lewati untuk merenung dan menyendiri, meratapi nasibnya yang kian memburuk. Rachel, ga...