Temperature Of Love-45

81 9 1
                                        

MALAM ini udara terasa cukup dingin, angin berhembus begitu kencang di susul dengan rintik-rintik hujan yang perlahan membasahi bumi. Oleh karenanya, tak banyak orang yang menghabiskan malamnya di luar. Buktinya hanya sedikit pengendara yang berlalu lalang di jalan raya sehingga membuat kondisi jalanan cukup lenggang.

Ardi, Pria berkacamata itu baru saja selesai menelefon pembantu rumah untuk menanyai keberadaan anak bungsunya. Dan ternyata anak itu sudah tidur sejak 30 menit lalu.

Perjalanan kali ini tidak memakan waktu terlalu banyak, oleh karenanya ia bisa sampai ke rumah sekitar 15 menit lagi. Biasanya kalau macet, Pria itu bisa menghabiskan waktu 1 jam untuk sampai rumah.

Ardi menghembuskan napas sejenak ke udara sambil membetulkan posisi kacamatanya yang sedikit turun. Ia baru saja membelokkan mobilnya ke kanan sebelum akhirnya sebuah suara pertanda panggilan telepon masuk terdengar mengalihkan tatapannya pada benda pipih yang kini tergeletak di kursi kosong di sampingnya.

Nomor tidak di kenal meneleponnya. Hal itu lantas membuat Ardi mengambil ponselnya dengan ragu. Sempat menatap layar selama beberapa detik sebelum akhirnya satu jarinya menekan tombol hijau pertanda 'menerima panggilan'.

Pria itu tak lupa menekan tombol speaker supaya volumenya terdengar dari jarak yang tidak dekat dengan telinganya.

"Malam, dengan Tuan Ardi?"

Satu menit waktu yang Ardi habiskan untuk mengingat-ingat siapa sosok yang meneleponnya ini.

Akan tetapi, suaranya begitu asing hingga akhirnya Pria itu menyerah dan menyahut. "Iya, ada apa?"

"Maaf, Pak. Sebelumnya saya dapat nomor ini dari mantan Istri Bapak,"

Ardi mengerutkan keningnya, bingung. "Luna?"

"Iya, Pak,"

"Iya, kenapa?"

"Mantan Istri Bapak saat ini sedang sekarat, tadi pagi dia habis mengalami kecalakaan cukup parah dengan pengendara mobil lainnya. Dan sekarang dia minta saya untuk kasih tau perihal ini ke Bapak. Untuk alamat rumah sakit nanti bisa saya share lewat SMS,"

Kedua mata Ardi spontan melebar. "Hah?" Ucapnya refleks. "Kenapa baru kasih tau saya sekarang?"

"Korban baru siuman satu jam lalu, daritadi pihak kami sudah mencoba untuk mencari tau informasi tentang keluarga, tapi tidak ketemu mengingat bukan hanya satu orang saja yang terlibat dalam kecalakaan ini," ucap pihak rumah sakit hingga membuat jantung Ardi semakin berdetak tak karuan. "Pak, kalau bisa Bapak ke sini sekarang juga karena kondisi mantan istri Bapak kritis,"

Baru saja ingin merespons, tetapi otak Ardi seketika ingat akan satu hal.

Mengenai kejadian saat Luna dan Regal yang berbohong agar bisa menculik Rachel dan membunuh Raynzal.

Pria itu menelan salivanya susah payah. "Kamu nggak lagi bohong, 'kan?"

"Untuk apa saya bohong mengenai nyawa orang, Pak?"

"Kasih saya foto mantan istri saya sebagai bukti dan alamat lengkap rumah sakit dia di rawat sekarang juga. Kalau kamu enggak bisa ngasih saya foto yang saya mau, saya enggak akan ke sana," ucap Ardi cukup tegas. Mengingat tidak mau kejadian kelam waktu itu terulang kembali.

"Iya, Pak. Saya kirim sekarang juga,"

"Iya, terima kasih,"

Ardi langsung memutuskan sambungan teleponnya. Tatapannya lurus pada jalan yang ia tuju.

Tentu saja dengan jantung yang berdebar begitu keras.

Hingga selang beberapa menit, sebuah pesan masuk melalui whatsappnya dan menampilkan sebuah file jpg.

Temperature Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang