Temperature Of Love-46

69 10 0
                                    

REGAL berteriak kencang di ruang ICU begitu salah satu dokter mengatakan bahwa pasien atas nama Luna telah meninggal tepat pukul 21.58. Lima menit sebelum ia dan Papanya sampai di rumah sakit.

Sosok yang sudah bercucuran air mata itu kini telah berdiri tepat di samping jenazah Mamanya. Nafasnya berderu tak beraturan di sertai dengan degup jantung yang berdetak sangat kencang.  Cengkeraman kasar pada rambutnya ia lakukan begitu keras, mengeluarkan seluruh tenaga yang ia punya untuk melampiaskan kekesalannya.

Perasaan emosi, marah, kesal dan sedih kini bercampur menjadi satu, tanpa bisa di kendali. Rasanya sulit untuk menahan semua cacian dan kata-kata kasar yang ingin Regal keluarkan kepada pelaku utama atas insiden kecelakaan ini.

Sungguh, ini bukanlah suatu hal yang biasa. Insiden ini sangat di luar nalar. Meninggalnya seseorang atas kelalaian yang di buat oleh pelaku utama tentu tidak bisa di selesaikan hanya dengan kata maaf.

Siapapun akan marah dan tidak terima bila melihat sosok yang di sayangi mendapatkan hal yang naas seperti ini. Jadi, jangan salahkan Regal apabila habis ini ia berani melakukan apapun hal yang bisa membuat 'dalang' di balik kecelakaan ini menyesal.

Kini mata elang yang sudah memerah itu—menatap sosok berbaju putih yang sedang mengurus mayat Luna—bermaksud untuk memindahkannya dari ruang ICU.

"Kasih tau saya sopir truk itu di mana, Dok," ucapnya cepat dengan nada yang lantang. Membuat Ardi yang kini sedang terduduk lemah secara spontan menatapnya.

Sang lawan bicara menatap Regal sembari menggelengkan kepalanya. "Itu bukan urusan saya," jawabnya dengan nada rendah.

"Sekarang di mana dia?" Tanyanya kembali sembari berkacak pinggang. Membuat Pria berkacamata di hadapannya ini tidak bisa berkutik. Takut keadaan memburuk bila dia memberitahu keberadaan orang yang Regal cari. Dokter itu sendiri tau betul tujuan dia menanyai keberadaan sopir truk tersebut untuk apa.

Ardi lantas bangkit dari duduknya dan menghampiri sang anak. "Udah, udah," katanya sambil menghusap punggung Regal sembari menyuruhnya untuk duduk di kursi kosong. Akan tetapi, lelaki tersebut malah menyingkirkan tangan Papanya secara kasar. Kini tatapan tajam ia tujukan, tak tersirat rasa takut sedikitpun di hadapan orang tuanya. "Pa, Mama meninggal, Pa!" Dengan nada tinggi.

"Mama meninggal kenapa Papa biasa aja?!"


Menghadirkan tatapan lelah dari Ardi, sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya, tidak berani merespons apapun karena takut keadaan semakin memburuk.

"Aku beneran bakal habisin dalang di balik semua kecelakaan ini," ucap Regal di susul dengan tangis yang tiba-tiba pecah begitu keras. Isakan tangis yang sudah ia tahan mati-matian kini terdengar juga. Membuat tubuhnya lemas tak berdaya, tidak kuat untuk berdiri dan menerima semua kenyataan yang terjadi.

Rasanya seperti mimpi melihat Luna, sosok yang amat ia sayangi kini sudah tidak bernyawa.

Tentu saja Regal tidak bisa menerima semua ini. Bagaimanapun juga Luna adalah sosok yang sangat berharga baginya.

Ardi maju selangkah, tatapannya terlihat serius. "Enggak usah memperburuk keadaan," ucapnya dengan menekankan setiap kata yang keluar. "Mau kamu marah sehebat apapun enggak akan ngebuat Mamamu hidup lagi,"

Regal menatap tak percaya Papanya.

"Kamu pik—"

"Emang nggak akan ngebuat Mama hidup lagi tapi setidaknya aku harus bales dia. Hutang nyawa harus di bayar nyawa," potongnya cepat, dengan dagu terangkat disertai tatapan menantang.

Temperature Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang