SEBENARNYA kondisi Raynzal belum sepenuhnya pulih.
Ia masih merasakan sakit, nyeri beserta perih di beberapa bagian tubuhnya. Apalagi, luka tembak yang dia dapat cukup dalam. Kata dokter membutuhkan waktu lama untuk sembuh.
Hingga kini Raynzal masih ditemani oleh beberapa obat luka, plester dan perban.
Oleh karenanya, lelaki itu memutuskan untuk cuti selama beberapa minggu sampai kondisinya benar-benar pulih. Untuk sementara semua pekerjaan di ambil alih oleh Ardi.
"Apa yang sekarang kamu rasain, Rayn?" Ardi menatap anak lelakinya selama beberapa saat, beralih memegang lengannya untuk mengecek luka pada bagian itu.
Menghadirkan gelengan kepala dari Raynzal sebelum akhirnya berbicara. "Udah nggak papa, Pa. Santai aja,"
Pria berkacamata itu menatap wajah anaknya selama beberapa saat, meneliti beberapa bagian yang masih terdapat luka memar.
Dentingan ponsel yang terdengar secara tiba-tiba, seketika mengalihkan pandangan dua sosok yang kini sama-sama melirik ponsel Ardi yang sudah menyala. Layarnya menampilkan nama 'Luna'.
Tak butuh waktu lama untuk Ardi agar melihat isi pesan tersebut.
Luna : Aku mohon kasih hak asuh
Raynhard dan Regal ke aku.Tanpa ragu Raynzal bergerak maju, mengarahkan pandangannya pada layar ponsel milik Papanya. Membaca isi pesan tersebut.
Alisnya terangkat sebelah begitu selesai membaca pesan tersebut—sebelum akhirnya kembali menatap Papanya dengan pandangan heran.
Lantas Ardi langsung membalas isi pesan tersebut.
Ardi : Mau kamu kasih makan apa anak kesayangan aku nanti?
Ardi : Urus aja bisnismu itu. Nggak usah ambil mereka dari aku.
Menghembuskan napas pelan ke udara, sebelum akhirnya Ayah dari dua anak kembar itu kembali menatap Raynzal selama beberapa saat.
"Dua minggu lagi sidang perceraian Papa sama Luna akan di gelar," suara berat itu terdengar, menghadirkan tatapan serius dari si tampan berbadan kekar.
Napasnya tertahan, dalam hati sibuk memikirkan perkataan yang tepat untuk merespons ucapan tersebut.
Akan tetapi, tak lamanya Ardi kembali bersuara. "Papa sebenarnya kasihan sama adikmu, Raynhard,"
Ardi ingat betul moment di mana Raynhard menangis—sampai berteriak karena saking tidak maunya di tinggal Luna. Bahkan tak jarang anak kecil itu menangisi kepergian Mamanya. Setiap malam ia sibuk mengotak-atik ponselnya untuk menelepon dan mengirim pesan kepada Luna.
Sebetulnya Ardi merasa iba. Akan tetapi, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Dirinya percaya bahwa keputusan yang ia buat itu benar.
Selama beberapa minggu ini Pria itu sudah mencoba untuk menghibur Raynhard semampunya. Untungnya, perlakuannya itu sedikit menuai respons positif dari anak bungsunya. Si kecil itu kini sudah mau tertawa, bercanda, dan di ajak bermain—meskipun masih suka sedih dengan kepergian Mamanya.
"Bawa Raynhard ke sini aja, Pa," Raynzal bersuara, memberi saran agar setidaknya Papanya itu tidak menanggung beban sendirian. "Biar Bunda yang urus," lanjutnya, membuat Ardi menatapnya sembari berpikir.
"Iya, ntar Papa pikirin," responsnya pelan sembari memandang layar televisi yang kini sedang menyala.
Hening selama beberapa saat. Keduanya sama-sama berkutat dengan pikirannya masing-masing. Sebelum akhirnya suara Raynzal kembali terdengar, mengalihkan pandangan Ardi dari televisi yang sedang ia tonton. "Regal gimana keadaannya sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Temperature Of Love
Teen Fiction[CERITA SUDAH LENGKAP] [SEQUEL OF RAYNZAL ANGKASA] Selama delapan tahun ini, Raynzal percaya bahwa hidupnya dihantui oleh kesedihan. Tidak ada sehari pun yang ia lewati untuk merenung dan menyendiri, meratapi nasibnya yang kian memburuk. Rachel, ga...