Dirra terlihat gugup kembali saat mobil Darren memasuki tempat parkir yang ada di lantai atas. Darren memarkirkan mobilnya dan mematikan mesinnya. Ia mengusap punggung Dirra agar tetap tenang.
"Ayo turun," ajak Darren.
Ia menggandeng tangan Dirra dan membawanya menaiki lift. Darren menekan tombol berangka 22B. Letak gedung tempat Daffin bekerja.
Pintu lift terbuka, semua karyawan tertuju pada mereka yang berjalan keluar lift.
"Pagi non Dirra," sapa salah satu pegawai.
"Pagi pak Darren," sapa salah satu pegawai.
Dirra terus menunduk, hingga di depan pintu ruangan Daffin, langkah Dirra terhenti.
"Om aja yang masuk, Dirra ga mau," ucapnya sembari melepaskan gandengan tangan Darren.
"Yaudah duduk di sana, jangan kemana mana atau saya akan marah," jelas Darren di angguki oleh Dirra.
Dengan langkah yakin, Darren berjalan memasuki ruangan Daffin. Dirra duduk di depan ruangan, di sebuah sofa yang sengaja di sediakan untuk menunggu.
Beberapa menit berlalu, Darren keluar dari ruangan Daffin. Masih dengan pakaian yang rapih. Ia menghampiri Dirra yang menatapnya dengan khawatir. "Ayo masuk," ucap Darren. Dirra menggeleng dengan kuat.
"Gak apa Dirra, ada saya," ucap Darren akhirnya membuat Dirra bangkit dari duduk dan masuk ke dalam ruangan.
Dirra terkejut saat melihat ada Calvin di sana.
"Papah," ucap Dirra melihat Calvin yang duduk di kursi dengan wajah yang lebam.
"Diam Dirra," peringatan Daffin saat Dirra hendak mendekati Calvin. Darren menahan tangan Dirra untuk menghampiri Calvin.
"Di apain kamu sama dia semalam ha?" Tanya Daffin dengan tegas.
"Dirra di ajak minum dan Dirra minta pulang," ucapnya.
"Calvin, apa yang sudah kamu lakukan dengan Dirra?"
Calvin menggeleng.
"Saat Dirra hampir di serang, saya dengan cepat memukulnya," ucap Darren.
"Bukti cctv penginapan bisa di lihat," lanjut Daffin.
"Jangan kamu dekati Dirra lagi, mengerti," ucap Daffin dengan penekanan.
Calvin mengangguk, "jangan sampai berani beraninya kamu menyentuh Dirra bajingan!"
"Baik," jawab Calvin.
"Anak saya itu dari keluarga terhormat kamu tau, pergaulan di sini tidak sama dengan pergaulan di Jerman, dan Dirra bukan wanita serendahan itu Calvin."
"Dirra, jangan lagi kamu pergi ke sana," ucap Daffin.
Dirra mengangguk, "Dirra salah karena ikut ajakan Zella."
"Kamu tinggal sama papah," ucap Daffin membuat Dirra terkejut.
"Dirra ga mau!" Ucapnya dengan tegas.
"Dirra nurut sama papah, kejadian ini ga akan terulangi lagi," jelas Daffin.
"Dirra ga akan pindah ke rumah."
Dirra dengan langkah yang cepat berjalan keluar dari ruangan Daffin. "Biarkan dia, saya belum merestui kamu Darren," ucap Daffin menghentikan langkah Darren mengejar Dirra.
"Kembali," ucap Daffin memerintahkan Darren.
Darren mengangguk dan berjalan pergi kembali ke kantornya. Entahlah ia tak melihat keberadaan Dirra. Dirra pergi dengan sangat cepat. Selang waktu dengan dirinya padahal tak terlalu lama.
---
Dirra melangkahkan kakinya pergi ke suatu tempat yang tidak bisa di temui oleh siapapun. Dirra memilih untuk sendiri dalam beberapa waktu. Dirra sengaja mematikkan ponselnya. Ia hanya menyentuh pena dan bukunya, beberapa chapter sudah harus ia pikirkan untuk melanjutkan tulisannya.
"Dirra capek," ucapnya.
"Kenapa si papah sama mamah tuh sama aja, mereka ga tau apa mau Dirra," gumamnya.
Dirra menatap langit yang kini berwarna orange. Matahari sudah ingin terbit. Namun Dirra masih memilih untuk tetap di sana. Di rooftoop sebuah gedung yang menjulang tinggi.
Hingga udara malam akhirnya menyentuh kulit Dirra. Dirra masih menggenggam erat penanya. Ponselnya masih tak ia nyalakan. Entahlah apakah semua mencarinya atau tidak. Dirra benar benar marah dengan Daffin, bagaimana bisa dia bersikap keras pada anak perempuannya sendiri?
"Aaaaaaaaaaaaa," teriak Dirra melepas semua masalahnya, ia melempar buku dan penanya. Dengan kuat Dirra menarik rambutnya dengan tangannya dan terus berteriak.
Seseorang berlari dari belakang saat mendengar teriakan Dirra yang sangat kencang, "Dirra," ucapnya sambil membawa Dirra kedalam pelukannya. Dia juga menjauhkan tangan Dirra dari rambut Dirra sendiri. Menyuruh untuk Dirra berhenti menarik rambutnya sendiri.
"Aaaaaaaa, hiksss."
"Sakit Dirra, jangan kamu tarik," ucap Darren dengan sigap menenangkan Dirra, mengusap punggung Dirra.
"Ayo pulang," ajak Darren.
Ia melepaskan jasnya dan memberikannya kepada Dirra, Dirra terlihat menggigil.
"Disini dingin, ga baik untuk kamu," ucap Darren.
"Dirra ga mau pulang ke rumah papah," gumamnya.
"Yaudah pulang ke apart kamu sendiri," bujuk Darren.
"Dirra ga mau pulang om, Dirra mau disini aja," ucapnya dengan kekeuh.
"Dirra denger saya, kamu pulang atau papah kamu akan semakin marah?"
"Dirra pulang, kasian Dazzy nunggu Dirra kasih makan," ucap Dirra membereskan semua pena dan bukunya ke dalam tas.
Darren membawa Dirra masuk ke dalam mobilnya. Hujam turun saat itu juga, pantas suasana malam sangat dingin, sebab ingin turun hujan rupanya.
"Om tau dari mana Dirra di sana?" Tanyanya.
"Kamu ga perlu tau, papah kamu tadi panik saat kamu ga bisa di hubungin, bahkan ponsel kamu mati," jelas Darren masih fokus dengan jalanan.
"Maaf ya om, Dirra nyusain om," ucapnya.
"Berhenti panggil saya om Dirra, saya bukan om kamu," ucap Darren.
"Huft,, ga sopan kalo Dirra panggil nama," ucapnya.
"Panggil saya Darren aja, ga usah pake om," jelasnya.
"Iya iya," jawab Dirra.
---
Pagiiii kalean! Awali pagimu dengan baca next chapter okay xixixi

KAMU SEDANG MEMBACA
Irreplaceable Love
Romans⚠Follow sebelum membaca⚠ Warning: 21+ Kisah ini di mulai, saat seorang penulis biasa, yang identitas aslinya tak pernah di ungkap. Dengan sangat cepat dan secara tiba tiba, ia bisa membuat seorang pria yang sulit untuk jatuh cinta, bisa mencintainya...