Chapter 18

74.7K 7.3K 632
                                    

Setelah hujan mulai reda, Mas Aji membantuku berdiri dan kami lanjut berkendara pulang. Rasanya aneh ketika ada seorang pria yang berbicara sedemikian rupa, apalagi yang berbicara adalah Mas Aji. Jantungku benar-benar tak akan selamat jika diperlakukan seperti ini terus. Mungkin Mas Aji tipe orang yang berterus terang tanpa banyak basi-basi. Mas Aji memang tidak bilang kata cinta atau sejenisnya namun kenapa efeknya justru lebih besar?

Dasar aneh, apakah aku mulai jatuh cinta tanpa tahap menjadi sahabat terlebih dahulu? Tapi memangnya bisa ya jatuh cinta secepat ini? Dulu sama Daniel, kami mulai dari menjadi teman-sahabat kemudian gebetan. Sedangkan bersama Mas Aji semua urutan itu justru menjadi tak berarti. Apakah ini yang namanya 'tresno jalaran soko kulino?' kalau iya, berarti aku sudah gila.

Oke, sepertinya memang perbincangan kami barusan adalah tahap baru di hubungan kami karena setelah sampai Mas Aji tak kunjung melepaskan genggamannya dari jemariku. Aku hanya senyum-senyum saja saat pria itu menawarkan untuk menyiapkan air hangat untuk membersihkan diri. Ia juga menjadi lebih rajin dengan mendahuluiku memanaskan makanan yang tadi pagi sudah kumasak.

Bahkan yang membuatku tak habis pikir adalah ia tak sungkan-sungkan meletakkan kepalanya di pangkuanku saat kami sedang berleha menunggu waktu pengajian nanti malam. Ingin kuprotes tapi pria itu terlihat sangat nyaman dan aku pun meletakkan novel yang sedang kubaca untuk mengelus rambutnya yang tak seberapa itu.

Jade muncul dari pintu kamar yang terbuka kemudian melompat ke atas tempat tidur. Kucing putih itu menenggelamkan dirinya pada pelukan Mas Aji yang terlelap.

"So cute."

Pukul setengah tujuh malam, aku dan Mas Aji berangkat menuju tempat pengajian di lapangan Kodam. Tempat duduk pria dan wanita dipisahkan. Suamiku pergi menjauh duduk di antara pria berkepala plontos lainnya.

Di barisan terdepan aku bisa melihat mama juga ibu-ibu lainnya beserta anak-anak perempuan mereka. Kami saling bertatapan dan aku menolak saat mama mengajakku duduk di sampingnya. Aku pun beralih ke barisan terbelakang melihat Mara yang melambaikan tangannya. Aku pun berjalan mendekat ke arah Mara.

Ya ampun, kenapa sih dari berbanyak ibu-ibu persit, Mara harus milih duduk dekat Bu Tigor? Aku tidak memiliki masalah apa-apa dengan beliau. Tapi Bu Tigor tuh selalu ngajak ngomong gosip yang terus diulang-ulang sampai panas kupingku.

"Bu Aji-Bu Aji, sini ...." panggilnya. Aku tersenyum kaku dan karena sudah terlanjur menyapa Mara, mau tak mau aku harus duduk di samping mereka. Aku pun bersalaman dengan Bu Tigor yang terlihat begitu antusias bertemu denganku.

"Terimakasih, Bu Tigor."

"Mohon maaf ya bu, izin, untung banget Bu Aji sama Bu Yusuf datang cepat. Tadi Bu Lydia udah ngomel-ngomel gara-gara ibu izin pergi. Mana hujannya deres banget jadi acara dipindahkan ke dalam aula. Mereka bilang kalau sampai Bu Aji atau Bu Yusuf nggak ikut acara do'a bersama ini bisa kena hukuman. Kan berlebihan banget ya, bu?"

Hm ... sudah mulai aja nih gosipnya? Belum juga pemanasan tapi Bu Tigor sudah berapi-api begini. Aku melirik Mara sekilas yang hanya mengedikkan bahunya seakan tak peduli dengan apa yang diinfokan oleh Bu Tigor barusan.

"Kami sudah izin kok," kataku.

"Iya sih, Bu ketua juga bilang begitu. Tapi mohon maaf banget loh Bu Aji, tadi juga Bu Lydia sempat banding-bandingin Bu Aji sama anaknya."

Aku mendongak ke arah langit malam dan mendesah panjang. Kudengar Mara yang cekikikan. Bu Lydia ya? Aku sudah bertemu dengan beliau beberapa kali dalam rangka mempersiapkan rangkaian acara hari ini dan kesan pertamaku adalah beliau orang yang judes karena di hari pertama aku memperkenalkan diri, beliau sama sekali tak menggubrisku. Aku nggak tahu dendam apa yang beliau miliki namun seketika berubah menjadi sangat manis saat ada mama.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang