Chapter 14

128K 12.5K 277
                                    

Aku melihat Pak Ian yang menurunkan berbagai macam barang dari mobil yang harus aku selesaikan besok. Aku melirik ke arah Mara yang tadi mengiyakan begitu saja permintaan ibu-ibu lain. Kalau begini siapa yang repot? Mas Aji juga belum pulang jadi aku tidak bisa memanfaatkannya. Lagi-lagi aku harus merelakan waktuku untuk belajar demi hal seperti ini.

"Non, kata ibu besok harus selesai dan sekitar jam 9 udah harus saya angkut lagi," ujar Pak Ian.

"Pak, ini banyak banget, berdua doang juga nggak bakal selesai dalam semalam," jawabku.

Pak Ian hanya tersenyum. Beliau bilang sebenarnya ingin membantu tapi mama sudah ada jadwal lain jadi tak bisa berlama-lama di sana. Aku menoleh ke dalam rumahku yang sudah terisi penuh. Aku juga tak setega itu meminta bantuan Pak Ian. Setelah menurunkan barang terakhir, Pak Ian kembali mengendarai mobil box pulang.

"Nanti sore kan bisa minta bantuan Mas Aji kenapa dibuat repot sih."

Kesabaranku sma Mara tuh sudah tipis banget. Ini sedikit lagi kalau aku ladenin jelas bakal berantem. Jadi aku lebih memilih diam dan mulai duduk di dekat sofa menyiapkan gunting juga lem perekat. Mara menyusul di belakang kemudian mendesah melihat tumpukan barang di depannya.

"Ternyata sebanyak ini," ujar Mara membuatku hampir tertawa. Dia pikir berapa jumlah anggota kodim di sini? Aku pun bergeser memberikan sedikit ruang untuk Mara bisa duduk.

"Kan ini idemu. Siapa suruh sok-sokan nyanggupin permintaan ibu-ibu di sana."

Mara menoleh ke arahku. Dari yang kulihat ia menunjukkan ekspresi tak suka. "Kamu belum tahu aja gimana pedasnya lidah-lidah ibu di sana."

Aku tetap menyalahkannya akibat kesialan ini dan Mara hanya mendiamiku tak merespon apa-apa. Baru satu jam duduk saja sudah membuat punggungku hampir mati rasa. Aku merebahkan tubuhku di atas sofa sambil menggunting pita biar nanti nggak mengulang pekerjaan yang sama. Mara membuka ponselnya dan lagi-lagi mendesah. Alisku terangkat merasa penasaran melihat ekspresi frustasi dari perempuan itu. Aku pun menyenggol punggungnya dengan lututku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tugas kelompok, buat senin tapi kelompokku ngotot banget minta besok siang buat ketemuan."

Rasain, kena getahnya sendiri kan? Apa sih yang dipikirkan oleh Mara menerima ini semua? Mentang-mentang kita seorang istri dan anggota persit tidak menjadikan kita punya kebebasan dari tugas-tugas kuliah. Seandainya di dunia ini diizinkan untuk mengkloning diri sendiri maka mungkin aku sudah berlibur di pantai dan membiarkan semua kloningan bekerja tanpa henti, biar aku yang menikmati hasilnya. Seandainya, oh seandainya ....

Setelah berbaring cukup lama aku kembali duduk ketika pita di tanganku habis digunting. Satu per satu aku mulai memasukkan beberapa cenderamata ke dalam keranjang lalu Mara bagian membungkusnya dengan plastik kado kemudian diikat mengenakan pita yang sudah digunting.

Kami bekerja rodi dengan serius. Bahkan tayangan komedi di depan kami tak bisa kami nikmati. Saat perut kami mulai keroncongan Mara menawarkan sesuatu membuatku cukup terkejut akan sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi ramah.

"Mau makan nggak? Mau aku beliin bakso di depan kompleks nggak?" tawarnya padaku.. Meskipun aku dan dia tidak memiliki hubungan yang harmonis tapi melihatnya kelelahan juga menawarkan makanan tetap harus aku apresiasi.

"Tumben? Kamu nggak ada niatan masukin racun kan?" Aku tertawa kecil saat Mara memutar matanya mungkin merasa kesal dengan komentarku.

"Oke, saos sama sambalnya dipisah, nggak?" tanyanya.

"Dipisah. Eh, itu ... pakai motorku aja, kuncinya ada di gantungan dekat tv." Aku menunjuk ke arah kunci motor yang tergantung di atas paku. Mara bangkit membawa dompetnya.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang