Chapter 11

137K 12.8K 294
                                    

Memang keputusanku untuk nomaden tidak salah, tadi pagi saja Mas Aji harus mengebut mengantarku ke kampus pagi-pagi karena aku dipanggil oleh seorang dosen untuk membicarakan tentang proposal skripsi yang kuajukan beberapa hari yang lalu. Balasan dosenku muncul di saat aku sungguh malas bepergian. Jiwa pemalasku muncul di saat yang tidak tepat awalnya aku berniat untuk beralasan sakit tapi melihat tatapan tajam yang diberikan Mas Aji, aku tahu bahwa ideku barusan bukanlah sesuatu yang baik. Bahkan ia rela mengantarku berangkat ke kampus dan kembali lagi.

Antara kasihan tapi mau bagaimana lagi, dipaksa, ya sudah dituruti saja maunya.

Diskusi mengenai proposal skripsiku hanya berjalan setengah jam. Seharusnya setelah selesai aku diminta Mas Aji langsung pulang menggunakan taksi. Tapi sudah kubilang kan kalau hari ini tuh aku serba mager alias malas gerak! Aku pun memilih menghabiskan waktu di mall untuk menonton film terbaru di bioskop, setelahnya ke resto korea untuk makan siang dan lanjut ke gerai toko buku terdekat. Sisa waktu di sore kubuat untuk menikmatinya dengan membaca novel di sebuah kafe bertemakan book-coffee shop..

Suasana kafe sungguh khidmat. Segelas cappuccino menemaniku. Beberapa kali aku melihat jam tanganku dan terus meyakinkan diri untuk pulang nanti-nanti saja. Satu kali nanti berubah menjadi nanti yang kedua lalu nanti lagi hingga tak terasa lampu halaman kafe mulai dinyalakan dan kulihat langit perlahan menggelap. Jam ditanganku menunjukkan pukul lima sore yang artinya langit menggelap karena mendung. Apakah ini akan menjadi hujan pertama pada musim penghujan ini? Ah, sial aku harus pulang.

Aku meregangan tubuhku beberapa kali dan meja di sekelilingku mulai penuh dengan mahasiswa lain dengan buku atau laptop mereka. Aku menuju konter untuk membayar makanan dan minuman yang aku pesan. Sambil mengantri membayar, aku bermain dengan ujung tajam duri salah satu bunga buatan di samping kasir. Batang bunga plastik itu sungguh tajam, akan sangat berbahaya kalau ada yang tersenggol pasti akan tergores.

Aku maju selangkah, masih ada satu lagi antrian lagi tiba-tiba saja antrianku dipotong oleh seorang perempuan. Aku menepuk pundaknya untuk meminta ia mengantri di belakangku. Rasanya sore ini memang hari sialku deh. Setelah hujan mengguyur, aku menahan diri untuk tidak emosi ketika kutahu siapa yang memotong antrianku. Surprise! It;s Asmara everyone!

Ia melihatku dari atas sampai bawah. "Aku pulang pake sepeda, ngejar waktu biar nggak kehujanan di jalan," ujarnya.

"Terus aku nggak kejar waktu gitu? Dengan kamu motong antrianku, tiba-tiba aku bisa punya kekuatan avatar pengendali air gitu?" sindirku.

"Udahlah, Qia. Ini tuh di depan umum nggak usah dibawa ribet kenapa sih."

Aku melirik ke arah penjaga kasir yang tetap menerima pembayaran dari Mara. Aku membuat catatan untuk tidak lagi datang ke kafe tersebut ke depannya. Mara buru-buru memasukkan dompe ke tasnya dan berlalu begitu saja tanpa minta maaf.

Aku mendekati kasir dan menyerahkan nomor mejaku dengan perasaan kesal. Ponselku kembali bergetar. Di layar tertera nama kontak suamiku yang sudah kuubah menjadi nama salah satu merek penyedap rasa.

"Halo, Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Mas Aji masih diam dan aku baru menyadari kesalahanku. "Assalamualaikum, Mas. Ada yang bisa Qia bantu?" tanyaku sekali lagi dengan suara yang lebih lembut.

""Waalaikumsalam. Kamu dimana sekarang?"

Astaga! Mati aku, jam segini Mas Aji pasti sudah pulang dari tadi dan cariin aku. Aku belum izin main lagi ke Mas Aji. Tiba-tiba saja kepalaku rasanya pusing saat air di luar kafe mengguyur dengan derasnya. Inilah akibatnya jika aku terus menunda-nunda kepulanganku akibat malas. Kugigit bibirku agar tidak terdengar gugup.

"Hm, di apartemen, Mas."

"Kenapa belum pulang?"

Aku menyerahkan uang seratus ribu kepada kasir. Setelah menerima struk pembayaran, aku mencari sebuah sudut ruangan agar deras hujan di luar tidak terlalu terdengar. "Aku tadi pakai istirahat dulu dan kelupaan sampai malam begini. Erm ... Aku izin pulang besok saja bagaimana?"

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang