Chapter 8 part 1

141K 12.8K 541
                                    

"Mara!?"

Aku benar-benar terkejut sekarang. Di depanku sekarang berdiri orang terakhir yang ingin kutemui. Kuusap mataku sekali lagi untuk memastikan bahwa makhluk di depanku adalah Mara, Asmara mantan sobatku dulu. Setahuku papanya Asmara tidak dinas di Kodam sini tapi kenapa anak ini bisa keliaran jauh sampai sini.

"Qi-Qia?" panggilnya dengan suara terbata.

"Kamu ngapain kesini? Mainmu kejauhan, Mar. Pulang sana" ujarku dengan mencoba mengusir perempuan itu sesopan mungkin. Jangan sampai dia tahu keberadaan Mas Aji. Mungkin aku bisa berpura-pura sedang menemani papa ketemu seorang prajuritnya yang sakit? Aku berdecak kesal. Kesal akibat pikiran konyolku barusan

Bukannya menjawab pertanyaanku justru ia bersedekap dan memperhatikanku dari atas hingga bawah membuatku risih. Ugh, apalagi senyum miringnya itu sangat kubenci! "Qia, kamu kira nikahannya anak Kasad sama anak Pangdam sini bisa disembunyikan?" Wajahku memerah menahan malu. Benar juga kata Mara. Mau beralasan seperti apapun, aku justru akan terlihat konyol.

Aku balas bersedekap dan melihatnya dengan cara yang sama saat ia menilaiku. Kutatap Mara dari atas hingga bawah dan sampai sekarang pun aku tak bisa menemukan alasan yang masuk akal mengapa Mara ada di depan rumahku saat ini. "Terus kamu sendiri ngapain di sini?" tanyaku menahan tubuhnya agar ia tak masuk ke rumahku.

Asmara mencondongkan setengah tubuhnya ke dalam rumah. Tangannya melambai ke arah Mas Yusuf dan Mas Aji. Mas Yusuf membalas lambaian tangan Asmara dengan canggung sedangkan suamiku hanya mengangguk.

"Aku tetanggamu," jawabnya singkat membuatku terdiam di tempat. Apa dia bilang? Tetangga? Maksudnya? Lho, bukannya yang tetanggaku adalah Mas Yusuf? Aku teringat ucapan Mas Yusuf yang bilang bahwa istrinya sebentar lagi akan menyusul. Setelah menyambungkan beberapa titik clue barusan, daguku jatuh hingga mulutku terbuka lebar.

"Kamu istrinya Mas Yusuf!?" tanyaku dengan nada tinggi.

Perempuan itu tak merespon keterkejutanku. Dengan sengaja ia menyenggol bahuku menggunakan bahunya kemudian masuk ke dalam rumahku seenak jidat.

Ya Tuhan, selama ini Asmara sudah menikah? Jadi rumor Mara punya pacar tentara itu setengah benar karena realitanya MARA PUNYA SUAMI TENTARA! Demi apa? Tapi ... kenapa harus jadi tetanggaku sih? Takdir apa ini Tuhan? Mengapa dari Milyaran umat manusia yang engkau ciptakan, kenapa harus Asmara yang jadi tetanggaku? Kenapa tidak kau beri kesempatan Raisa dan Hamish Daud saja untuk kami bisa membangun hubungan ketetanggan yang harmonis?

"Hamil duluan?" tanya Mara berbisik di telingaku dari belakang. Aku tersentak akan tuduhan barusan. Otomatis aku berbalik ingin menjambak mulutnya tapi wanita itu sudah duduk di samping Mas Yusuf dan mengucapkan selamat atas pernikahan kami kepada Mas Aji. Tangannya melekat erat layaknya pasangan suami-istri yang saling mencintai. Mataku memicing tak suka.

"Maaf Mas Aji kami nggak bisa datang ke pernikahannya, ayahnya Mas yusuf masuk rumah sakit jadi kita harus balik ke Semarang beberapa hari." Aku tidak menyukai cara Mara berbicara kepada suamiku. Bukannya aku cemburu, hanya saja Mara mengajak Mas Aji mengobrol selayaknya teman dekat.

"Katanya kalian dijodohkan?" tanya Mara sekali lagi. Aku bisa melihat bagaimana Mas Yusuf menyentuh lengan istrinya mungkin merasa tak enak bertanya sesuatu yang terlalu privasi.

Aku langsung berlari dan duduk di samping Mas Aji, pria itu mungkin sedikit terkejut dengan sikapku yang tiba-tiba memeluk lengannya. Kepalaku kusandarkan di bahu lebarnya dengan nyaman.

"Iy-"

"Enggak, dong!" potongku cepat sebelum Mas Aji berkata jujur. Mau ditaruh dimana mukaku jika aku ketahuan menikah karena dijodohkan oleh Mara? Alisnya terangkat seakan tak percaya dengan apa yang barusan aku sampaikan. "Memang terkesan cepat tapi kita sudah saling kenal lama kok, Dari awal bertemu Mas Aji sudah jatuh cinta pada pandangan pertama ke aku, ya kan Mas?"

Alisnya berkerut menandakan ia bingung mengapa aku berbohong, "Tapi karena aku masih sangat muda dan terlalu sibuk, kamu tahu sendiri kan aku di kampus sibuk banget."

"Mana aku tahu, kita kan beda fakultas," potongnya.

Hampir saja aku mendesis tak suka saat Mara memotong ucapanku. Kuhembuskan napas mencoba bersabar kemudian kembali tersenyum manis. "Sangking sibuknya aku, aku jadi nggak terlalu memperdulikan dia."

Mulut suamiku hampir terbuka ingin mengoreksi ucapanku namun sebelum itu terjadi aku menginjak kakinya sebagai kode untuk menutup kembali mulutnya "Namanya juga Mas Aji. Kalau kamu nggak tahu, dia tuh orangnya keras kepala, sudah berkali-kali aku menunjukkan penolakan tapi nggak digubris. Setiap hari aku dikirimi bunga dan coklat, diantar-jemput kalau ada waktu luang, diajak makan malam, setiap malam diberi surat puitis, ya otomatis lama-lama aku luluh juga. Kamu ingat waktu acara resepsi teman SMP kita dulu? Nah, aku kan jalan sama Mas Aji juga waktu itu."

Semua orang menatapku dengan tatapan yang berbeda-beda, dari Mas Aji yang menatapku dengan tatapan bingung, Mas Yusuf menatapku dengan mata yang berbinar juga senyum lebar. Mungkin dia kagum karena aku berhasil menaklukan manusia kutub satu ini. Tapi yang paling memuaskan adalah tatapan Mara yang iri. Kedua alisnya berkerut dengan bibir bawah digigit erat-erat. Aku merasa jahat ketika memiliki rasa bahagia melihat Mara yang kesal..

"Bu Kapten benar-benar hebat bisa membuat seorang Bang Aji melakukan semua hal itu?" Kepala Mas Yusuf mengangguk-angguk dan meninju pelan lengan suamiku. "Sumpah, kami semua terkejut waktu dapat undangan soalnya Bang Aji nggak pernah cerita-cerita, lho. Ternyata pakai taktik gerilya," ujar Mas Yusuf membuatku tertawa akan perumpamaannya.

"Kan Mas Aji gitu orangnya. Mulutnya tertutup rapat. Urusan pribadi mah disimpan baik-baik. Selain itu aku juga sih yang minta dia untuk nggak usah rame-rame."

"Ah, benar sekali, Bu. Tapi kami minta maaf sekali lagi karena tidak hadir di acaranya."

Aku melambaikan tanganku meminta Mas Yusuf untuk tidak memikirkannya. Di lubuk hatiku paling dalam, sejujurnya aku bersyukur Mas Yusuf tidak hadir di acara pernikahan kami karena mengingat istrinya adalah Asmara. "Nggak apa-apa kok Mas," kataku.

Siang itu kami berbincang singkat, mayoritas perbincangan aku, Mara dan Mas Yusuf yang mendominasi. Mas Aji mah kalem-kalem bae. Paling-paling kalau ditanya cuma mengangguk atau tertawa kecil. Aku sama sekali tak memberinya kesempatan bercerita tentang masa perkenalan kami. Ketika membahas hubungan kami, selalu aku yang menjawab dengan kakiku menginjak kakinya agar ia tak membuka mulut. Aku sedang tidak berniat menjadi istri yang jahat, hanya saja aku khawatir Mas Aji terlalu jujur hingga pernikahan kami terjadi akibat perjodohan. Mas Aji kan gitu orangnya, polos=polos ngeselin.

Karena terompet tanda apel sore sudah mulai dibunyikan, Mas Yusuf izin kembali ke barak begitu juga dengan Mas Aji. Kesan pertamaku pada Mas Yusuf adalah dia teman dekat Mas Aji yang baik. Mereka satu SMA tapi Mas Yusuf adik kelasnya dua tahun. Mereka bertemu sebagai anak paskibraka kemudian kembali bertemu saat AKMIL. Entah takdir dari mana tapi keduanya tak pernah berpisah sejak itu. Mulai dari Mas Yusuf yang masuk ke kompi Mas Aji, hingga mendapatkan rumah dinas yang sebelahan dan sejak saat itu juga mereka telah banyak berbagi gula dan garam kehidupan militer.

Asmara juga ikut pulang meninggalkan aku sendirian di rumah. Mengingat tugas yang belum kelar, dengan setengah hati aku mengambil kembali laptopku. Bersama Jade yang kuletakkan di sampingku aku pun mulai menulis di atas kasur.

Apa daya aku ini seorang manusia fana yang tak akan bisa melawan hawa nafsu berupa kantuk. Angin sepoi sore yang masuk dari jendela kamar yang terbuka tak membantu sama sekali. Tepat saat aku melihat jade yang menguap, aku pun ikut menguap. Tugas masih bisa kukerjakan nanti malam lagi. Aku butuh istirahat.

*

Qia adalah aku ketika mengerjakan tugas di atas kasur. Selalu ketiduran :)

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang