Chapter 9

147K 13.6K 610
                                    

Kembali lagi dengan Qia dan segala kerandomannya ❤

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*

Kompromi untuk tinggal nomaden selama tiga hari di apartemen akhirnya disetujui oleh Mas Aji tanpa syarat. Aku tahu kalau Mas Aji punya sisi lembut, tidak sekeras kepala papa. Awalnya aku cukup terkejut ketika ia mengiyakan permintaanku tanpa syarat meskipun di awal terlihat sedikit tak ikhlas. Dan sekarang sudah terhitung tiga hari aku meninggalkan Mas Aji sendirian di rumah asrama. Atas alasan demi kepentingan kuliahku dan memudahkan mobilitas selama jika ada keperluan di kampus, aku diizinkan Mas Aji untuk menetap di apartemen setiap hari senin hingga kamis.

Awalnya ada perdebatan panjang karena tetangga sebelah mulai ikut campur, Mas Yusuf bilang kalau mau ke kampus bareng Mara aja. Tapi kan Mara kuliahnya beda fakultas dengan mata kuliah di hari yang berbeda. Lagi pula, bayangin aku sama Mara ke kampus boncengan? The heck, apa kata dendamku selama ini?

Untungnya suamiku sangat pengertian. Harus kuakui, Mas Aji adalah orang yang menghargai pendapat juga keinginanku. Kami tak banyak berinteraksi selama masa pendekatan sebelum menikah. Kami nggak pernah pergi berkencan karena aku sibuk kuliah dan jarak kampus yang jauh sering membuatku melarangnya menjemputku. Paling-paling, kami akan makan malam bersama ketika orang tuanya Mas Aji tengah datang ke daerah ini. Selain itu beberapa hari ini juga kami menjalani hari seperti biasa tanpa adanya pertengkaran. Ya, meskipun terkesan kami cuma tinggal bersama minim komunikasi tapi itu lebih baik menurutku ketimbang sedikit-sedikit bertengkar karena tidak nyaman akan kehadiran masing-masing.

Namun setelah tiga hari aku tidur di apartemen, kini aku harus menarik gas motorku lebih dalam untuk mengebut pulang. Tadi setelah kelas pagi mendapatkan telepon kalau mama mertuaku akan mengunjungi kami di rumah. Padahal jatahku pulang ke rumah adalah besok jadi terpaksa mau tidak mau aku harus pulang hari ini juga. Oh iya, kedua orang tua kami tak diberi tahu kalau aku nomaden dan tidak tinggal sepenuhnya bersama Mas Aji.

Semuanya menjadi sangat tergesa-gesa karena aku tidak tahu kondisi rumah, apakah berantakan atau tidak. Selama aku di apartemen juga aku dan Mas Aji sama sekali tidak saling memberi kabar. Saat di tengah jalan, aku menyempatkan diri mampir ke supermarket untuk membeli beberapa isian kulkas.

Fiuh, akhirnya setelah mendapat pengalaman menjadi pembalap MotoGP dadakan, akhirnya aku bisa melepaskan helmku dengan lega karena mama belum sampai. Di depan rumah, aku segera masuk dan memeriksa kondisi rumah. Aku sedikit bisa bernafas lega melihat rumah yang bersih dan rapi. Salah satu keuntungan lain bagiku telah menikahi seorang prajurit, di masa-masa bujangan mereka pasti terbiasa untuk hidup tertata dan disiplin. Setidaknya hal itu membuatku tak perlu khawatir seperti sebelumnya. Menuju halaman belakang, Jade terlihat bersih dan aktif artinya Mas Aji sudah memandikannya.

Kembali ke dapur, kuletakkan semua kantong belanja dan mulai mengisi kulkas serta membuang beberapa sayur yang mulai mengering. Kulihat beberapa bungkus kosong mie instan yang terbuang di tong sampah dekat kulkas. Berarti selama aku pergi pria itu hanya mengonsumsi mie? Aku menepuk jidat merasa bersalah, kalau dilihat dari jumlah bungkusannya pasti ia makan mie instan setiap hari. Haduh, Mau usus buntu atau bagaimana? Dari semua sayur yang mengering, aku tahu pria itu sama sekali tak mencoba untuk memasak.

Reflek aku mengeluarkan kangkung dan beberapa jenis rempah. Daging pun aku keluarkan untuk direndam agar lebih mudah diolah. Sambil menunggu daging, kusiapkan beberapa peralatan memasak dan tak lupa untuk memasukkan beras ke ricecooker. Selama menunggu sayur mendidih dan matang, aku memutuskan untuk merapikan salah satu kamar yang kugunakan untuk menyimpan barang-barangku, jaga-jaga jika mama mertuaku ingin menginap hari ini.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang