Chapter 15

132K 13K 399
                                    

Aku hanya bisa pasrah kala Mara meninggalkanku sendirian karena suaminya baru pulang dengan alasan menyiapkan makan malam. Bah! Bahkan Mas Aji yang jelas-jelas kukirimi pesan untuk pulang cepat tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Aku melihat lagi pesanku yang jelas-jelas centang duanya tidak berubah warna yang artinya pria itu bahkan tidak membaca pesanku!

Aku teringat belum menyiapkan powerpoint untuk kupresentasikan pada dosen pembimbing kedua menangani proposal skripsiku. Kalau hanya aku saja yang mengerjakan ini semua jelas aku tidak akan bisa selesai.

Lama-lama juga aku kelelahan. Tayangan tv sudah tak menarik lagi dan yang sangat aku inginkan saat ini adalah rebahan. Semakin lelah, semakin kesal aku dibuatnya. Bagaimana bisa Mara, yang notabenenya orang yang mengiyakan permintaan ibu-ibu lain untuk mengerjakan ratusan cinderamata justru meninggalkan aku sendirian seperti ini. Apa semua orang nggak tahu kalau orang lain juga punya kesibukan lain?

Aku hampir saja mengumpat keras-keras kala tanganku tergores oleh cutter saat memotong tali rami. Mungkin aku sedang dalam masa PMS jadi melihat darah yang keluar membuatku ingin menangis saja. Aku tidak merasakan sakit apapun pada luka gores ini melainkan rasa tertekan. Sebenarnya aku bisa saja menelantarkan parsel-parsel ini untuk mengejar deadline lain tapi akan sangat tidak enak rasanya jika ada tugas yang dipercayakan kepadaku tapi aku tidak mengerjakannya hingga selesai.

Terlebih lagi aku masih kategori anak baru yang ingin keberadaannya diakui oleh ibu-ibu persit lain. Aku ingin mereka mengenalku dengan kesan baik ... Argh rasanya aku mau kabur saja dari semua ini!

Sudah begitu, tak ada hansaplast yang kutemukan, alhasil kubiarkan luka kecil tersebut. Hanya sesekali aku membebatnya menggunakan kaosku yang masih bersih. Sampai tahap ini aku masih mencoba untuk bersabar, aku juga masih berusaha semampuku untuk tidak menangis.

Satu jam kemudian pertahananku mulai goyah karena luka yang tak tertutupi maka akan kembali terasa sakit ketika tak sengaja bergesekan dengan benda kasar. Meskipun luka di telunjuk hanya selebar satu senti tapi aku tahu jika aku sudah berada diambang batasku, raga dan jiwaku sudah mulai lelah, kerja rodi dari pagi dengan beban pikiran tugas deadline.

Aku mengatur napas agar kembali tenang saat kudengar suara motor yang masuk ke pekarangan rumah. Benar saja, tak berapa lama kemudian Mas Aji muncul dengan wajah polosnya. Setelah kulihat wajahnya yang kebingungan aku kembali mengikat salah satu parsel lagi dan menyingkirkannya ke deretan parsel yang sudah selesai.

"Ini semua apa, Qi?" tanya Mas Aji.

"Parsel untuk ibu-ibu," jawabku dingin.

Aku masih dongkol kepada Mas Aji. Aku memintanya pulang cepat agar bisa membantuku malah dia pulang malam. Memang hebat suamiku ini.

"Masih banyak?"

Aku hanya mendesah keras, malas menjawab.

Aku sudah sangat kelelahan sekarang. Dan Mas Aji masih sempatnya bertanya masih banyak? Apa Mas Aji nggak bisa melihat tumpukkan di depannya? Orang normal juga pasti bisa mengira-ngira bahwa aku baru mengerjakan setengahnya. Kubiarkan Mas Aji melakukan apapun sesuka hatinya, aku melanjutkan kegiatanku dalam diam. Terlalu lelah untuk meladeni Mas Aji.

Mas Aji menggeser parsel yang berada di sampingku kemudian duduk di ruang kosong tersebut. Pria itu mengambil pita yang sudah aku gunting tadi siang kemudian menatap pergerakkan tanganku, ia menirunya untuk membentuk sulur.

"Kamu lagi ngapain di sini?" tanyaku masih dengan nada kurang bersahabat.

Mas Aji hanya mengedikkan bahunya lalu mengambil plastik bungkus. Ia memperhatikan caraku membungkus parsel kemudian ditirunya. Aku memperhatikan tangannya yang cukup lihai dan dalam waktu yang singkat ia menyelesaikan satu parsel. Kami berdua bekerja dalam diam, sesekali aku menguap.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang