Chapter 42

40.2K 3.7K 45
                                    


Qia dan Asmara telah kembali dengan selamat. Keduanya memutuskan untuk tetap merahasiakan pertemuan mereka dengan Aji, Yusuf dan beberapa anggota tentara lainnya. Qia ingin mengklarifikasi langsung hal ini kepada papanya. Pria yang beberapa bulan ini selalu mencoba menghindarinya dan terlihat sama depresinya dengan dirinya.

Qia dijemput oleh Pak Ian, ajudan papa yang setia.

"Pak, papa ada di rumah , kan?" tanya Qia.

Mama menoleh bingung. "Tumben cari papa, kangen ya?" tanya mama.

Qia hanya memberikan mamanya sebuah senyum simpul dan mengangguk. Ia menerima genggaman tangan mamanya dan memebalasnya lebih erat. Qia pun berbalik untuk menghadap jendela mobil. Ia masih mengingat ucapan Aji yang menjelaskan apa yang terjadi pada mereka.

Tidak mungkin papanya tidak tahu. Sangat tidak mungkin. Qia antara siap dan belum siap untuk menerima jawaban papanya nanti.

Tiba di rumah, Qia langsung mencari keberadaan papanya. Ia menolak cepat tawaran mamanya yang menawarkan makan untuk QIa. Ia mencari papanya ke halaman belakang dan menemukan pria itu duduk seorang diri di kursi goyangnya, memeluk Jade di atas perutnya sambil melihat arah burung-burung yang dipeliharanya. Burung itu berkicau semakin ribut ketika Qia datang.

"Pa?" sapa Qia membuat pria itu menoleh.

Jade, kucing putih milik Aji pun turun dari pelukan papa dan mengeong menyelipkan tubuhnya yang lentur di antara kaki Qia dan menggosokkan wajahnya ada sepatu Qia yang masih terpasang.

Qia meraih kucing itu. Menggendongnya dan memberikan beberapa pijatan di belakang lehernya buat kucing putih itu keenakan memejamkan matanya. melihat itu, Qia menjadi lebih tenang sekarang. Masih sambil memeluk Jade, Qia duduk di samping papanya. Di sebuah meja kopi sambil ikut melihat ke arah burung-burung yang dikoleksi oleh papanya akhir-akhir ini.

"Qia, bagaimana caranya? Alhamdulillah, kamu pulang dengan selamat."

Qia mengangguk bingung memulai dari mana untuk bertanya tentang Mas Aji. meskipun papanya kini tengah mengusap punggungnya, Qia tahu masih ada dinding tebal di antara mereka. Ada sesuatu yang belum terselesaikan. Qia berdeham mempersiapkan dirinya terlebih dahulu.

"Acaranya lancar, Pa. Di sana ... sempat ada gempa susulan tapi semuanya baik-baik saja. Juga nggak ada tsunami susulan, Qia besok mulai ke kantor untuk laporan."

"Alhamdulillah," balas apanya yang kemudian kembali bersandar pada punggung kursi goyangnya.

"Pa, Qia boleh tanya sesuatu?" tanya Qia tanpa melihat ke ayahnya. Ia memeluk Jade lebh erat muntuk menguatkan dirnya.

"Ya? Apa, nak?"

"Hm ... tentang Aji ..."

Tangan yang mengusap punggung Qia terhenti. Papanya terdiam sejenak. "Ada apa dengan Aji?"

Qia menoleh begitu juga papanya. Mata Qia yang lembut ia dapatkan dari papanya. Begitu juga hidungnya yang mungil. Alis Qia yang rapi secara alami juga didapatkan dari papanya. Qia benar-benar fotocopy dari sang ayah.

"Aku ketemu Aji di sana dan dia sudah jelasin semuanya dari sudut pandang dia. Terus ... katanya yang kemarin itu cuma miskomunikasi ya? Itu .. bagaimana bisa, pa?" tanya Qia dengan suara bergetar.

Pria itu menegang terkejut.

Papa Qia memejamkan matanya. Menahan diri untuk tersapu emosi. Tapi mau sekuat apapun dirinya di tempat di lapangan sejak usia muda. Jika itu berhubungan dengan putri semata wayangnya, ia tidak akan pernah mampu.

Pria kaku itu pun meneteskan air matanya. Menyesali apa yang ia lakukan dan yang tidak ia lakukan untuk putrinya. Bagaimana dirinya masih bisa disebut sebagai papa setelah apa yang ia perbuat membuat putrinya berada di titik terlemah selama beberapa bulan?

Putrinya telah kehilangan banyak hal akibat kebodohannya.

"Aji benar," ujar pria itu di sela-sela tangisannya.

Aji benar tentang bahwa semua keluarga pasti diberitahu tentang rencana mereka. Aji benar bahwa yang terjadi di antara mereka adalah miskomunikasi. Papa Qia terlalu terkejut dengan berita yang ia dengar tentang putrinya. Terjatuh dari tangga? Pria itu langsung terjatuh ke lantai kantor ketika mendengarnya.

Melihat Qia bergumul dengan depresinya, membuatnya semakin takut dan takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Dirinya menyimpan terus rahasia itu, berniat membuat Qia kuat kembali sebelum ia mengatakan semuanya. Namun semakin ia mengubur rahasia itu, semakin takut dirinya untuk mengungkapkannya. Ia tidak bisa melihat kekecewaan putrinya kepadanya.

Ia sudah egois memutuskan untuk membuat putrinya menikah di usia muda. Ia pikir itu adalah yang terbaik! Tapi justru dirinya lah yang membuat Qia terjerumus jatuh ke palung kesengsaraan!

Sebagai seorang ayah yang mencintai putrinya, ia membenci dirinya sendiri. Ia berpura-pura kuat ketika menolong putrinya sedangkan dirinya sendiri tidak ada yang menolong. Ia juga tentu tidak akan menceritakan semuanya kepada istrinya karena tahu bahwa ia akan disalahkan atas kesengsaraan yang putri mereka alami.

Qia ikut menangis tersedu di samping papanya. Keduanya sibuk mengusap air mata sendiri-sendiri. Jade sudah lama turun dari pelukan Qia. Baik Qia maupun pahanya sama-sama tidak ingin berbicara atau mencoba menenangkan satu sama lain karena keduanya sedang rapuh. Mereka tidak bisa berpura-pura menolong satu sama lain.

Hingga pelukan hangat tangan seorang wanita menarik mereka berdua untuk lebih mendekat.

"Ma..."

"Mama?"

Qia terkejut ketika mamanya memeluk dirinya dan papa dengan dua rentangan tangan yang kuat. Membuat bahunya bertemu dengan kepala papanya. Qia pun ikut membalas pelukan mamanya, ikut menyampirkan tangannya di pundak sang papa begitu juga papanya yang ikut menarik pinggang Qia dan Qia duduk di atas pangkuan sang papa memeluk kedua orang tuanya ia tidak tahu mengapa ia menangis dengan sangat kencang tapi hal itu tetap ia lakukan.

Untuk saat itu, Qia adalah seorang anak kecil lima tahun yang terjatuh dari sepedanya. Menangis kencang di antara pelukan kedua orang tuanya. Papanya tak henti-hentinya meminta maaf karena tidak memegangi sepeda putrinya dengan benar hingga putrinya terjatuh terluka. Mereka bertiga saling berpelukan erat. Sangat-sangat erat dan itulah yang Qia butuhkan selama ini.

Perlahan Qia tahu bahwa lukanya ... luka terdalam dan tersembunyi. Luka yang tidak pernah bisa disentuh oleh psikiater atau pun Aji sekalipun kembali tertutup. Pelukan kedua orang tuanya dan kesempatan untuk menangis sekeras-kerasnya menyembuhkannya.

Qia tak pernah menangis. Masa depresinya tak pernah mengizinkan dirinya untuk menangis. Psikolog pernah mencoba membuatnya rileks dan menyuruhnya menangis karena tak ada yang melihat tetapi tak ia lakukan. Qia menyimpan semuanya menangis dalam diam tanpa mengeluarkan air mata tapi kali ini ditempat yang paling bisa ia menjadi lemah, Qia tak menahannya lagi.

***

Aku updtae 3 bab langusng yaa soalnya kemarin ga sempat upload ^^

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang