Chapter 17 part 1

129K 12.2K 269
                                    

Lagi-lagi aku dihadapkan dengan jadwal yang tak menentu. Hari ini adalah hari perayaan HUT Kodam tempat mas Aji berdinas. Deretan acaranya hampir membuatku keteteran. Setelah acara jalan sehat keluarga, aku langsung minta pulang dan memberikan kupon hadiahku kepada Bu Tigor. Sekali lagi aku mandi untuk membersihkan tubuhku karena aku akan pergi ke acara pernikahan Dimas, teman SMPku dulu.

Kembali kuperhatikan pakaianku. Sebisa mungkin kubuat make up-ku terlihat natural dengan memilih beberapa shade warna nude. Dan sekarang aku bingung, harus menguncir rambutku atau membiarkannya terurai saja? Aku menoleh ke arah cermin berkali-kali mencoba mencocokkan gaya rambut sampai Mas Aji keluar dari kamar mandi. Ia membawa pakaiannya menuju kamar lain untuk berpakaian.

Aku masih bingung dengan gaya rambut sampai Mas Aji sudah selesai berpakaian. Aku mengangguk puas melihat suamiku mengenakan kemeja batik seragam dengan kebayaku.

"Belum selesai juga?" tanyanya.

"Bingung. Mending aku kuncir atau digerai saja?"

Aku menunggu jawaban Mas Aji. Namun pria itu tak menjawab apapun dan justru pergi keluar. Aku menguncir rambutku namun rasanya seperti ada yang kosong. Leherku terasa kosong tapi aku sama sekali nggak punya perhiasan apa-apa. Yang kupunya hanya cincin pernikahan kami. Oke, lebih baik dibiarkan tergerai saa. Aku pun menyisir rambutku kembali agar terlihat lebih rapi.

Karena kakiku sudah lelah akibat jalan sehat tadi pagi. Aku pun memilih sepatu converse yang masih terlihat bersih karena sudah kucuci kemarin. Mas Aji kembali muncul tepat di sampingku membuatku terlonjak kaget.

Hampir saja aku mengumpat. Satu lagi kebiasaannya yang kurang kusukai. Mas Aji tuh sering banget main tinggal tanpa ngomong apa-apa kayak di kamar tadi tapi sering juga muncul tiba-tiba tanpa ada suara.

"Mending dikuncir, bagus."

Aku hanya mendesah tak memperdulikannya. Tadi sudah kumintai pendapat tapi sama sekali tak digubris. Sekarang aku sudah nyaman dengan rambut diurai, tiba-tiba muncul bilang kalau dikuncir lebih bagus. Sebenarnya maunya tuh apasih?

"Nggak jadi dikuncir?" tanyanya sekali lagi.

"Tadi kan aku sudah tanya, kamu malah ilang. Sekarang sudah enak diurai kamunya muncul bilang kalau dikuncir lebih bagus. Dari tadi kemana aja?"

Mas Aji merogoh saku celananya. Aku menunggu beberapa saat untuk ia mengeluarkan sesuatu ternyata itu cuma firasatku saja dan aku kembali lanjut mengenakan sepatuku. Tiba-tiba sebuah benda berkilau tergantung tepat di depan wajahku membuat aku bingung.

"Saya ambil ini sebentar tadi," ujarnya.

Aku masih fokus menatap benda yang rasanya pernah aku lihat di sebuah tempat. Tanganku terulur untuk menyentuh benda berkilau itu. Rantai berwarna emasnya terlihat sangat kecil dengan liontin yang kecil.

"Ini apa?" tanyaku bingung.

Mas Aji tertawa kecil dan menjawab singkat " kalung."

Otakku masih agak sulit mencerna. "Kalungnya siapa?"

"Kalung untuk kamu. Saya cowok, nggak mungkin pakai kalung kan?"

"Dapat dari mana?"

"Beli."

"Ya maksudnya beli dimana? Kapan? Pake uangnya siapa? Bisa nggak sih kasih info jangan setengah-setengah," ungkapku kesal. Oke, mungkin aku terlalu berlebihan dan mulai merasa bersalah saat Mas Aji menggaruk rambutnya.

Pria itu tiba-tiba pindah ke belakang kursiku dan memasangkan kalung tersebut di leherku. "Maaf," ujarnya. "Belinya waktu kita cari kebaya kemarin. Pake uang saya sendiri."

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang