Chapter 26

113K 11K 718
                                    

"Apa lo!!!" teriak Mara lebih keras.

Eh? Apa yang terjadi?

Mataku membulat terkejut melihat Mara yang berbalik untuk mendorong Arum hingga hampir terjungkal ke lantai. Hanya butuh satu teriakan kencang dari Mara untuk kami menjadi pusat perhatian setiap orang di mall tersebut. Tentu saja ... aku sebagai manusia normal menjadi panik karena mendapatkan semua perhatian yang tidak aku inginkan.

Dua teman Arum menengahi pertikaian tersebut. Tapi sepertinya hal itu justru membuat Mara tidak terima. Mara mungkin mengira, kedua teman Arum justru melawannya.

Tidak boleh seperti ini. Mara harus segera dihentikan sebelum hal-hal buruk terjadi! Dia lupa kah kalau dirinya sedang hamil saat ini?

"Mara! Mara! Udah, Mar! Nyebuuut! Ingat bayi Mara! Kita udah dilihatin banyak orang," kataku sambil menarik Mara yang berusaha menantang kedua teman Arum.

Jika dibilang, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan Mara, yang aku khawatirkan adalah anaknya yang masih berumur jagung. Jika Mara sendirian, aku yakin sudah pasti Mara akan memenangi adegan baku hantam tersebut tapi kan sekarang Mara udah punya janin di dalam perutnya. Dimana yang aku tahu, bahwa janin yang masih mudah masih sangat sensitif dan lemah.

Asmara semakin menjadi-jadi salah satu teman Arum mendorong pundaknya. Kedua tangan mereka saing mendorong satu sama lain. Aku yang mencoba menengahi pertengkaran tersebut justru terkena tamparan dari Mara dan tanganku tak sengaja tersikut oleh temannya Arum satu lagi.

Sial, kenapa aku harus melewati hari seperti ini, sih? Salahku apa?

"Jangan berdiri doang! Bantu tarik temanmu!" bentakku pada Arum yang masih berdiri bingung di tempat. Aku mencoba menarik Mara begitu pula dengan Arum yang mencoba menjauhkan temannya dari amukan Mara.

Aku sedikit bingung karena yang digunjing Arum adalah suamiku kenapa justru Asmara yang melepaskan amarahnya seperti orang kesurupan begini? Sangat tidak masuk akal, pikirku.

Sekeliling kami mulai dikerumuni oleh orang-orang, untungnya tak satu pun yang mengeluarkan ponselnya untuk merekam adegan tadi. Hingga dua satpam berlari ke arah kami dan menarik paksa Asmara, aku yang tahu jika Asmara sedang hamil muda menahan tubuhnya agar tak terjatuh.

"Bu-ibu, ada apa ini?" tanya salah satu satpam. Pria itu berdiri di antara Mara juga teman Arum untuk menengahi mereka berdua.

Aku memberikan tatapan tak suka kepada Arum saat tak sengaja kami bertatapan mata. Arum segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menghindari tatapan mataku. Wajahnya memerah, mungkin ia merasa malu akibat ketahuan apa yang sudah ia bicarakan tadi.

Aku membantu Pak Satpam membereskan tas milik Mara yang tercecer di lantai. Tak ayal teman Arum juga menatap kami dengan tatapan sengit. Apa maksudnya itu? Bukankah seharusnya aku dan Mara yang merasa kesal? Temannya, Arum, telah berbicara dengan tidak sopan! Aku mencoba untuk bersabar. Memang aku sakit hati dengan apa yang mereka bicarakan tadi. Akan tetapi sekarang bukanlah saatnya untuk bertengkar. Apalagi di depan umum.

Kelompok Arum dibawa menjauh dari kami berdua. Salah satu Pak Satpam menanyakan kronologi dan dengan berapi-api Mara menceritakan bagaimana Arum berusaha merebut Mas Aji. Iya, Mara emosi karena Arum mencoba merebut Aji bukan suaminya sendiri, Yusuf.

"Memangnya dia pikir dia siapa? Jabatan papanya Qia lebih tinggi daripada bapaknya. Kayaknya ini semua nurun dari Ibunya deh. Aduh, aku tuh sampai enggak habis pikir ya, Bu Lydia -umph! Apaan sih, Qia!?"

Aku membungkam mulut Mara dengan cepat ketika ia mengatakan sesuatu yang tak seharusnya diucapkan. Aku tidak ingin Mara menjadi menyesal. Terlebih lagi ketika ia berbicara saat sedang terbawa emosi seperti ini. Mara harus belajar untuk menjaga lisannya lebih baik lagi.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang