Chapter 31

106K 10.4K 514
                                    

Senang rasanya bisa berkumpul ramai seperti ini. Aku menikmati rujak yang disediakan khusus untukku. Aku menolak saat mereka memberiku ikan bakar. Sebenarnya aku mau tapi aku tidak suka baunya. Terlalu menyengat. Padahal itu adalah salah satu makanan favoritku. Untung Dimas dan Rafa peka dan pergi mencari jagung untukku. Jadi mereka menyisakan jagung bakar untukku.

Mas Aji? Jangan tanya, dia hanya melihat tanpa tahu harus melakukan apa..

Aku dan Mara duduk di kursi menikmati angin malam dengan teh hangat masing-masing. Dari sore hingga larut malam mereka mengobrol panjang kali lebar. Sesekali ketika ada tetangga atau anak-anak kecil yang lewat kami ajak bergabung atau sekadar berbagi.

Tapi dengan suasana yang ramai ini, ada yang mengganjal bagiku. Mas Yusuf yang biasanya paling ribut lebih sering mendengarkan guyonan yang lain. Untuk Mas Aji sendiri jauh lebih diam dari biasanya. Well, Mas Aji memang orangnya pendiam dan lebih sering mendengarkan tapi malam itu ada sesuatu yang membuatnya lebih sering melamun. Bahkan senyum kecil pun tak ia tampakkan. Aku yakin seratus persen penyebabnya bukan kepalanya jadi bahan mainan, ada sesuatu yang lain.

Aku sering memanggil tetapi tak didengarkan. Aku yakin sesuatu telah mengisi pikirannya.

"Jam berapa, Mar?"

"Jam sembilan. Gue balik dulu ya, ngantuk," jawab Mara.

Jam sembilan masih terlalu dini. Tapi mereka sudah berkumpul di halaman rumahku sejak sore. Dimas sendiri masih seru dengan gitarnya begitu juga dengan Bambang yang nyanyi dengan nada tak karuan. Setidaknya dia sedang berkompetisi dengan jangkrik untuk mengisi malam yang hening.

"Yaudahlah, kalau begitu sekalian bubarin perkumpulan masa."

Kubereskan gelas-gelas kopi dan piring sisa makan mereka. Kubawa ke dalam untuk dibersihkan. Dari pintu kubisa mendengar Ebeng berteriak pamit pulang.

"Bu Kapten, izin pulang dulu ya!"

"Iya, hati-hati, Beng! Dimas sama Rafael juga hati-hati motorannya!"

"Siap, laksanakan!"

Mas Aji menyusul mengunci pintu rumah. Ia terlihat lelah, tangannya bertumpu pada meja makan. Kepalanya menunduk sehingga aku tak bisa melihat ekspresinya. Kupercepat gerakan mencuci piringku agar bisa menyusulnya segera.

Setelah mengeringkan tanganku, aku menyusulnya dan menawarkan segelas air putih. Mas Aji pun mendongak. Pria itu tidak berkata apa-apa. Aku hanya bisa melihat kedua alisnya yang terangkat.

"Mas Aji? Kenapa? Ada masalah?"

"Hm? Nggak ada."

Ia meninggalkanku ke dalam kamar. Setelah beres kususul dirinya. Aku menunggunya mandi sambil duduk bersandar di tempat duduk. Pasti ada yang nggak beres. Firasatku sebagai seorang istri mengatakan Mas Aji sedang ada dalam masalah. Lihat saja, sekuat apa keteguhan suamiku itu menyembunyikan permasalahannya dariku. Tak akan kubiarkan ia menanggung bebannya sendiri.

Meski pun kami baru kenal beberapa bulan dan interaksi kami berdua tidak seintens pasangan menikah lainnya tapi aku sudah cukup belajar akhir-akhir ini. Kekurangan Mas Aji adalah mengkomunikasikan isi hati juga pikirannya. Ia tidak pandai berbicara. Dan selama ini ia hanya berbicara ala kadarnya. Ia tidak tahu cara meluapkan sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

Terbiasa hidup seorang diri menjadi anak tunggal, aku tahu Mas Aji sejak kecil terbiasa dengan hidup seorang diri. Apalagi dengan papanya yang sibuk. Ia tidak terbiasa berbicara. Sejak kecil ia terbiasa menyimpan semua nya seorang diri dan belajar mengatasi masalahnya seorang diri. Dan ketika dia sudah bersamaku sekarang, kebiasaan itu tak bisa ia tinggalkan. Itu sudah terpatri dalam alam bawah sadarnya.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang