Chapter 35

100K 9.9K 886
                                    

Seperti halnya dengan waktu yang terus bergulir, aku pun melakukan hal yang sama. Walaupun perjalannya cukup sulit tapi aku perlahan kmebali menata hidupku.

Pemerintah dan TNI telah memutuskan menghentikan pencarian anggota korban kapal yang karam sejak enam bulan yang lalu. Bahkan satu jasad pun tak ditemukan, hanya barang-barang mereka yang tercecer di lautan. Media sangatlah gencar membicarakan beritanya pada saat itu. Teori-teori konspirasi mulai bermunculan tapi itu hanya bertahan enam bulan. Setelahnya tak ada kabar sama sekali.

Masyarakat berempati pada kami, keluarga yang ditinggal, hanya selama enam bulan saja karena setelahnya berita artis yang menikah, cerai, tertangkap kasus narkotika lebih menarik perhatian mereka. Kami terlupakan. Para prajurit garda terdepan yang melindungi mereka menghilang telah dilupakan begitu saja.

Meskipun demikian, aku tak akan pernah mengizinkan diriku untuk melupakan Mas Aji.

Tapi tak apa, aku juga tidak membutuhkan empati mereka. Selama ada keluarga di sampingku semuanya sudah cukup. Apalagi ada malaikat kecil yang menemani hari-hariku saat ini.

Perkenalkan namanya Septian, panjangnya Septian Respati, anak laki-laki berusia empat bulan. Dia adalah anak kecil terewel yang pernah kutemui. Ia sama sekali tak ingin pergi dari gendonganku. Aku memang tak mengeluh tapi semakin hari, berat Septian semakin bertambah membuatku sering kelelahan.

"Qia, semua obat sudah masuk koper?"

Aku menoleh ke arah Mara yang sedang menyeret koper besar milikku. Oh iya, aku hampir lupa. Semenjak Mara melahirkan, sekarang kami tinggal berdua di apartemenku dulu saat kuliah. Kasihan dia sedikit kesusahan mengurus Septian sendiri. Jadi kuajak tinggal bersama. Oh iya aku lupa lagi, Septian bukan anakku, ia adalah anaknya Mara yang sudah kuanggap seperti anakku sendiri.

"Sini Sep, sama mama dulu. Biar tante Qia bere-beres dulu."

"Ngapain ribet, sih. Aku masih berangkat lusa. Lagian kenapa sih pake ikut segala. Nggak kasihan Aa' Septian lo? Masih empat bulan juga."

"Qi, ibu mertuaku sendiri nyuruh aku pergi. Asep mereka yang jaga. Katanya aku juga butuh refreshing. Asi juga bukan masalah, masih ada stok untuk beberapa hari ke depan" ujarnya sambil mengambil Septian dari tanganku. Aku bernapas lega setelah Septian diambil oleh mamanya.

Beruntungnya Mara bisa memberikan putranya asi dengan lancar dan justru berlebih. Setidaknya urusan asi bukan menjadi masalah untuk Mara dna anaknya.

"Kita nggak jalan-jalan ya ...." kataku mencoba mengingatkan Mara.

"Iya-iya paham. Masukin dulu noh obat-obatnya."

Aku berlalu ke dalam kamar. Kusentuh satu botol putih berisikan obat yang rutin dikonsumsi beberapa bulan terakhir. Isinya adalah obat antidepresan. Kejadian tahun lalu meninggalkan sebuah trauma tersendiri buatku. Syukur, mama dan papa cepat tanggap sehingga mereka membawaku segera ke psikiater. Dan memang aku sudah jauh-jauh-jauh lebih baik sekarang tapi tetap saja aku belum pulih sepenuhnya.

Awalnya aku kesulitan tidur tanpa minum obat yang diresepkan dokter. Tapi sekarang sudah lebih baik. Aku hanya mengkonsumsinya jika serangan kecemasan tiba-tiba muncul saja.

Aku berhasil bangkit dan kini aku bahagia bisa melakukan apa yang selalu aku inginkan sejak dulu. Menjadi aktivis kemanusiaan di sebuah organisasi nirlaba internasional membuatku sangat banyak bersyukur. Bertemu dengan jutaan manusia yang hidupnya tak seberuntung diriku membuat belajar banyak hal.

Suara tangisan Septian mengembalikan kesadaranku. Jika saja dia tak pergi mungkin saat ini akan ada dua tangis anak kecil. Tanganku mulai bergetar, tandanya aku harus mencari perhatian lain. Tidak boleh melihat masa lalu. Aku bahagia. Aku bahagia. Aku bahagia.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang