Chapter 46

109K 9.8K 356
                                    

Qia sudah kembali rumah dinas Aji yang lama. Bersama Mara juga yang sudah lebih dulu kembali ke rumahnya sebagai tetangga Qia. Qia melepas Jade memeriksa semua bagian rumah yang sangat bersih dan rapi.

"Saya minta tolong orang untuk berish-bersih," ujar Aji yang meletakkantas Qia di sofa terdekat.

Qia memperhatikan semuanya dengan seksama. Rumah kecil dimana ia dan Aji bisa menjadi semakin dekat. Sekarang juga sebenarnya Qia masih merasa canggung dengan suaminya. Meskipun mereka sudah melakukannya beberapa kali tapi jika hanya untuk duduk berdua untuk bercanda seperti dulu lagi masih ada kecanggungan yang sulit Qia jelaskan.

Diharapkan setelah kembali ke rumah itu kembali mereka bisa kembali dekat seperti dulu kala.

Selain itu, disini dia memiliki Mara dan Septian yang selalu menghiburnya. Tak lupa ada Bambang yang bisa ia suruh-suruh dalam kondisi kepepet. Ngomong-ngomong tentang anak itu, ia menangis histeris di ketika upacara penyambutan karena bisa melihat abang-abangnya lagi. Qia sampai tertawa terpingkal-pingkal ketika diceritakan Aji.

"Qia, ini paket kamu?" Tanya Aji sembari memperhatikan sebuah bingkisan lebar dan tipis.

"Iya! Itu baru smapai tadi malam ke rumah. Sekalian aku bawa untuk ditaroh di rumah ini."

"Boleh dibuka?"

"Boleh, dong!"

Qia bergabung dengan Aji yang berdiri membawa paket pigura besar Qia keluar dari mobil. Keduanya duduk di sofa ruang tamu untuk melihat isinya.

Sebuah lukisan pernikahan mereka yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya. Dulu, Qia dna Aji sama-sama tidak pernah sekalipun menggantung foto mereka. Dan Qia yang ingin mengenang hari penting mereka pun memutuskan untuk mencetak foto terbaiknya.

Aji menatap wajah istrinya yang terlihat cantik di balutan gaun pengantin yang elegan. Senyumnya terukir melihat senyum lebar istrinya yang akan terbingkai selamanya di sana. Ia mencari dinding kosong. Sebuah dinding di dekat pintu menuju kamar mereka terdapat lukisan pemandangan hasil potretnya beberapa tahun lalu.

Aji akan menurunkan pigura itu dna menggantikannya dengan foto pernikahan mereka.

Aji pun segera berdiri mencari paku dan palu di persediaan alat perkakasnya.

"Qia, bantu saya lihat posisi untuk digantung potretnya ya?"

"Iya!" jawab Qia yang sangat antusias.

Qia mencoba sebisanya untuk memastikan bahwa piguranya terletak di bagian tengah dinding dan cukup tinggi sehingga mereka bisa menambahkan lebih banyak foto keluarga mereka di masa yang akan datang. Beberapa instruksi kecil masih terdengar kurang memuaskan bagi Aji.

"Mas, kalau agak ke kiri lagi bagaimana?"

"Di sini?" Tanyanya sambil menggeser bingkai foto tersebut ke kiri.

"Hmmm ....."

"Bagaimana?"

"Kalau ke kanan sepuluh senti lagi sepertinya lebih pas deh." Instruksi Qia kesekian kalinya membuat lengan Aji mulai terasa kebas. "Nggak-nggak, posisi tadi yang benar tapi di geser lima senti lagi aja ke kanan."

Aji tak banyak berkomentar, ia tetap mengikuti instruksi istrinya dengan baik. "Di sini?" Anggukkan mantap dari Qia mengakhiri sesi geser-menggeser foto. Wanita itu maju untuk bantu menopang pigura dari bawah saat Aji memberi tanda tembok dengan spidol sebagai tempat paku. Harmoni keduanya mengalir dengan natural, Qia membantu suaminya tanpa disuruh.

Dilihatnya dengan bahagia, dinding kosong yang sekarang telah terisi dengan indah. Aji pun merasa bahagia. Ia merangkul pundak Qia dengan lembut. Keduanya menatap potret mereka dengan perasaan bahagia. Banyak yang berubah tentu saja, fisik maupun psikis. Setiap perjalanan hidup tentunya punya arti dalam tahap pendewasaan.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang